Dampak Sosial Media Bagi Kesehatan Mental

Juli 08, 2020

Oleh: Tiara Hapsari
(Mahasiswi Universitas Negeri Jakarta/Penerima Beasiswa BMM UNJ)

Image Source: econsultancy.com

Pada awal Oktober 2019 kemarin kita mendengar mantan personil girlband F(x) sekaligus artis Korea Sulli ditemukan tidak bernyawa di kediamannya di  kawasan Seongnam, Provinsi Gyeonggi, Seoul Selatan. Sulli ditemukan oleh seseorang yang merupakan salah satu anggota dari agensinya sendiri, yaitu SM Entertainment.


    Apakah ada kaitannya kematian Sulli dengan permasalahan mental dan media sosial? Ya, tentu saja ada kaitannya. Sejak kasus kematian Sulli mulai muncul di permukaan, banyak media yang mengaitkan kematian artis cantik Korea ini dengan kejamnya kehidupan media sosial. Hampir dari semua pemberitaan di lini masa baik media cetak maupun yang tersebar secara daring menampilkan pemberitaan Sulli dengan melibatkan para netizen yang diduga ikut menjadi penyebab bunuh dirinya Sulli.


    Seperti halnya situs berita daring tirto.id yang menampilkan pemberitaan yang dipublish pada tanggal 17 Oktober 2019 dengan judul yang bertajuk “Bunuh Diri Sulli dan Kejamnya Jempol Warganet Korea”. Tirto mencoba menampilkan cerminan perilaku seksis yang dilakukan oleh para warganet Korea ke sosial media para artis K-Pop dan tak terkecuali Sulli.


    Mengingat masuknya revolusi industri 4.0 dan juga pesatnya perkembangan informasi mendorong individu atau kelompok untuk dapat menunjukan eksistensinya di ruang-ruang siberseperti halnya beberapa platform seperti Instagram, Twitter, Facebook atau platform lainnya. Dewasa ini, orang-orang tanpa segan untuk menunjukkan siapa dirinya kepada khalayak ramai melalui dunia maya dan seakan-akan mereka tidak memiliki ruang privasi tersendiri.


    Apa yang sebenarnya terjadi dengan Sulli merupakan sebuah tamparan keras bagi beberapa kasus perundungan di media sosial, atau yang sering kita sebut dengan cyberbully. Perilaku-perilaku perundungan di media sosial ini memiliki dampak yang begitu luar biasa bagi psikis seseorang seperti adanya kecemasan ataupun depresi yang mendalam. Bukan hanya perilaku cyberbully saja yang dapat membahayakan kesehatan mental seseorang. Kecanduan berselancar di sosial media juga dapat membahayakan kesehatan mental hingga membuat otak kelelahan.


    Efek buruk media sosial bagi kesehatan mental berdasarkan sumber National Center for Biotechnology Information (NCBI) AS & Sicialnomic menyebutkan setidaknya terdapat 5 dampak negatif yang ditimbulkan. Yang pertama merasa tak aman dan tak percaya diri, muncul sikap membanding-bandingkan isi postingan dengan kondisi diri sendiri. Hal ini menciptakan sebuah kondisi dimana kita memiliki sifat ketidakpercayaan diri yang menyebabkan sifat agresif.


    Munculnya kecemasan sosial, pecandu media sosial rata-rata sulit untuk berinteraksi dengan baik di dunia nyata. Hal ini sejalan dengan pandangan para sosiolog yang mengatakan bahwa masyarakat itu dibagi menjadi dua kelompok masyarakat. Yang mana masyarakat terbagi menjadi real-community dan juga cyber-community. Secara nyata kehidupan masyarakat manusia di dunia nyata dapat disaksikan dengan apa adanya. Sedangkan kehidupan masyarakat maya adalah sebuah kehidupan masyarakat manusia yang tidak dapat secara langsung diindera melalui pengindraan manusia, namun dapat dirasakan dan disaksikan sebagai sebuah realitas. Sehingga secara tidak langsung masyarakat dunia maya melakukan proses-proses sosial dan interaksi di dalam sebuah jaringan, dan mereka merasa nyaman melakukan itu ketimbang berinteraksi langsung di dalam dunia nyatanya.


    Mudah lelah dan stress, para pecandu sosial media dalam sebuah riset yang dipublikasikan dalam Journal of Adolescence pada Agustus 2016, rata-rata memiliki kualitas dan kuantitas tidur yang buruk. Mereka mengalami susah tidur dan bangun tepat waktu. sebagian lagi rela bangun tengah malam hanya untuk melihat kabar dunia mayanya. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini meembuat otak mengalami kelelahan hingga mempengaruhi fisik secara tidak langsung seperti kelelahan karena kekurangan waktu istirahat.


    Tekanan emosi tersembunyi, melarikan diri dari dunia nyata ke dunia maya membuat orang terbiasa hidup dalam penyangkalan dan tekanan emosi. Orang-orang yang seperti ini biasanya mereka yang menunjukkan sisi yang berbeda dari dunia nyatanya kepada orang lain. Biasanya yang lazim ditunjukkan adalah “sisi menyenangkan dari diriku” seperti halnya Sulli yang selalu menunjukkan sisi bahagianya dia walau sedang dihadapkan dengan depresi berlebih.


    Kemudian adanya tekanan sosial dari lingkaran terdekat. Hal ini biasanya terjadi karena adanya tuntutan dalam diri seseorang jika tidak “up to date” muncul kegelisahan dan kekhawatiran yang berlebihan. Misalnya saja seperti remaja yang harus up to date terhadap berita-berita fashion kekinian, cafe yang lagi ngehits atau hanya sebatas mengikuti tren di media sosial.


    Penggunaan media sosial secara berlebihan tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental, tetapi kesehatan fisik. Kecemasan, tuntutan, hingga depresi yang berlebihan dapat mempengaruhi aktivitas kita di dunia nyata. Bayangkan saja ketika kita melihat sebuah unggahan yang muncul di beranda instagram yang menampilkan kehidupan yang serba mewah seorang artis atau teman kemudian kita memandingkan diri kita dengan mereka. Kondisi ini di dalam istilah Psikologi dapat disebut sebagai Social Comparison atau perbandingan sosial. Perbandingan sosial ini adalah sebuah kecenderungan untuk merasakan hal baik atau hal buruk dalam dirinya berdasarkan perbandingan dirinya dengan orang lain, baik itu di dunia nyata maupun dunia mayanya.


    Meminjam ungkapan Mark Twain “Comparison is the death of joy” atau dalam bahasa Indonesia perbandingan adalah kematian dari sukacita. Seakan-akan Mark Twain ikut mendukung bahwa memandingkan diri merupakan proses menuju kematian. Penelitian menemukan keinginan untuk saling membandingkan akan memunculkan rasa iri hati, rendahnya kepercayaan diri hingga depresi. Jadi tidak dapat dipungkiri penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental pada manusia.


    Tak jarang ada orang-orang melakukan tindakan untuk berpuasa dalam penggunaan media sosial, mereka-mereka yang melakukan ini merupakan orang yang terlebih dahulu sadar akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kecanduan media sosial ini. Selain dengan berpuasa media sosial banyak hal-hal positif lainnya yang dapat kita lakukan untuk menangkal pengaruh media sosial yang menyebabkan sakitnya kesehatan mental kita.

  • Melakukan interaksi secara intensif dalam kehidupan nyata.
    Jika banyak orang yang menggunakan media sosial untuk bersosialisasi, maka kita dapat melakukan hal sebaliknya dengan bersosialisasi di kehidupan nyata untuk menggurangi penggunaan media sosial secara berlebihan. Karena dengan banyaknya interaksi di dunia nyata maka sedikit waktu bagi kita di dunia maya.

  • Berakhir pekan dengan keluarga, teman terdekat atau sekadar melakukan Me Time.

    Biasanya akhir pekan banyak dilakukan untuk berselancar di media sosial hingga menghabiskan kouta internet. Akhir pekan bisa dimanfaatkan untuk berpuasa media sosial dengan melakukan aktifitas dengan keluarga atau hanya bersantai menikmati Me time di rumah.


  • Memfilter pertemanan di media sosial.

    Anda perlu menyaring beberapa teman anda di media sosial, hal ini perlu dilakukan karena pertemanan di media sosial berbeda dengan pertemanan secara langsung. Anda yang mengetahui secara pasti pertemanan seperti apa yang anda butuhkan di akun media sosial anda. 


  • Batasi dirimu dari konsumsi berita buruk

    Boleh saja kita menerima informasi sebanyak-banyaknya dari media sosial, tetapi kita perlu membatasi pemberitaan yang akan kita terima. Tanpa disadari pemberitaan buruk atau bad news akan memberikan kecemasan terhadap apa yang dilakukan sehari-hari.


  • Yang terakhir buktikan pada diri anda bahwa hidup lebih bahagia tanpa media sosial.

    Tidak bisa dipungkiri media sosial sebagai panggung luas yang mempertemukan banyak orang yang menampilkan kehidupan mereka. Tetapi jika dilihat media sosial sebagai indikator sebuah kebahagiaan itu merupakan kebahagiaan yang semu. Yang artinya apa yang ditampilkan tak selalu merefleksikan kondisi yang sebenarnya. Jadi buktikan pada diri sendiri bahwa media sosial bukanlah jalan menuju kebahagiaan.

     
    Jadi sering sekali kita lalai menjaga kesehatan mental kita karena terlalu terobsesi dengan penggunaan media sosial yang berlebihan. Memutus siklus kecanduan media sosial memang agak sedikit sulit dilakukan, banyak psikolog yang menyarankan untuk memiliki jadwal akses media sosial. Misalnya memiliki jarak dan waktu tertentu dalam sehari, hal ini membantu kita untuk mengurangi penggunaan media sosial secara berlebihan. Terutama yang paling tepenting lakukanlah hal-hal positif di dalam dunia nyata yang memberikan manfaat bagi kehatan fisik dan mental kita.

 

-----------------------------------
TENTANG PENULIS

 

Tiara Hapsari, penerima Beasiswa Muamalat serta seorang mahasiswi di Universitas Negeri Jakarta 

You Might Also Like

0 komentar