...
Ini secercah goresan, teruntuk tuan ku
Bahwasannya ingin ku beritahu, rasa ku tidak pernah sepenuhnya hilang
Aku, melepaskan tidak berarti diri ini tidak mencintaimu seutuhnya
Yang ku tahu, diri ku akan tetap bersamamu
Untuk rasa yang pernah kita utarakan, tak apa simpan saja sampai hilang perlahan
...
Lamunan ku masih saja, tentang semesta yang tak pernah paham akan kita
Nanti, tak apa jika dirimu tidak pernah menerima keadaan nya
Aku, selalu mengusahakan kita yang nyatakan tidak
Nanti, tak apa jika dirimu takut untuk memulai cinta lagi
Dan, aku yang akan menanggung dosa nya kepada semesta
Akhiran kita pernah ku minta koma, sebelum benar-benar titik
...
Ornamen yang kita rangkai sebelumnya, perlahan luruh
Sejak itu, diriku tak paham, apa yang seharusnya diutarakan
Aku, nyatanya benar pengecut
Nanti, tak apa jika dirimu perlahan membenci seisi dunia termasuk diriku
Jadi, sekarang diri ini sedang meratapi semestinya
Aku, nyatanya benar pengecut
Yang ku tahu, semesta kali ini tetap tidak berpihak pada KITA
Aku, nyatanya benar pengecut
...
Untuk mu, Selamat merayakan kembali September mu di tanggal 7 ini 🫶

Kabutnya mulai turun

Derajat celcius menjadi minus

Hujan perlahan jatuh

Pipi ku mulai basah

Buka karena hujannya

Melainkan rindunya

Tuan, dapatkah kita putar ulang waktunya?

Tuan, dapatkah kita mengulang semuanya?

Harusnya tuan bawa rindu itu sampai

Bukan tuan titipkan kepada hujan

Nyatanya, hujan tak membawa rindu kala itu

Nyatanya, hujan malah membuat tuan terjatuh

Maaf, rindu ku seberat itu

Maaf, Bogor kala itu diiringi isak tangis

Dengan berat hati, kembali ku singkap halaman-halaman lusuh dari buku tua yang sempat engkau pinjamkan dahulu.

Pada halaman pertama, aku bertemu dengan seorang gadis lugu yang sedang meluap rindu.

Pada halaman selanjutnya, aku bertemu dengan seorang pria pemalu yang sedang memikul pilu.

Ku katakan pada pria itu bahwa ada gadis di halaman lalu yang sedang mengukir nama nya diantara baris judul dan kata pengantar.

Si pria menjawab

"Sesungguhnya memang namaku yang ia ukir, tetapi jika kau putar halaman selanjutnya, akan kau temukan bahwa aku hanyalah halaman pembuka dari saga tentang si gadis lugu dan pangeran berkudanya"

-Alif

Malam itu ku rasa kita memang pasangan yang serasi.

Aku si pengemudi yang berpura-pura buta, dengan kau sang penumpang yang berpura-pura lupa.

Tidakkah kau ingat kala itu?
Dengan sengaja pedal di lengan kanan  kutarik kencang, mengadu deru mesin motor tua dan tawa lepas mu yang saling bersahutan.

Setelan kemeja katun biru dan celana jeans tidak terlalu ketat yang ku kenakan sekilas senada dengan terusan putih yang kau kenakan dibalik rompi biru tua itu.

Kita berdua, berboncengan membelah jalan-jalan sepi yang belum pernah kita lewati.

Sudah berapa simpang yang sengaja kita lewati demi menunda akhir jumpa?

Lampu-lampu kuning dipinggir jalan berbaris menyambut kita berdua, Kira-kira kapan kau ingin berhenti melaju di jalan sepi ini? Entahlah jawabmu, sambil mengeratkan genggam pada lingkar perutku.

Sekiranya kapan kau ingin mengikhlaskan pertemuan ini? Tanyamu berbalik padaku yang masih menarik pedal sembari menatap lampu kuning yang ada di kejauhan.

Benar juga, sekiranya mengapa belum ku ikhlaskan pertemuan kita malam ini?

Bukankah besok dan besoknya masih bisa ku temui nya tepat di waktu yang sama?

Benar juga, masih ada hari esok.
Dan esok harinya lagi.

Tetapi untuk malam ini, aku masih belum ingin berhenti.

-Alif

Sekali lagi, ku seduh segelas teh kamomil yang kala itu dititipkan ibu.

Satu gelas kamomil dan ingar-bingar mentari, ku tatap keduanya seakan menerka-nerka;

Apakah hujan yang menari diatas atap pagi ini, atau memang sembab dikedua belah pipi.

Dengan berat hati, ku hela nafas panjang.

Untuk apa aku menerka pertanyaan retoris, jika sesungguhnya, memang kita yang sedari awal tak pasti.

-Alif

Terdengar gemericik hujan kala itu

Terlihat nyata jalanan mulai basah olehnya

Tercium aroma khasnya membuat otak ku penuh

Ku kira hanya hujan yang menenangkan

Nyatanya pelukmu juga

Ku kira hanya hujan yang membuat basah

Nyatanya air mata ku juga

Entah apa kita ini

Pada beberaoa tanya, dirimu hanya membungkam jawab

Perihal rindunya?

Biarlah, bersama hujan JUNI

Ku titip saja rindu ini di sela-sela kota Jakarta

Mentari kini mulai menorehkan cahayanya

Beranjak dari ufuk timur

Seakan lupa, badai yang menghantui semalam

Ku tata kembali, segala yang hancur

Ku dayung perlahan, kapal ku ke tujuan

Seakan percaya diri, kapalnya akan sampai

Ku dengar,  angin bergemuruh hebat

Ku lihat, ombak menggulung tak karuan

Semesta kembali menguji ku

Harus berapa kali ku lewati badai ini, ucap ku dalam hati

Harus berapa banyak cobaan yang ku lalui, ucap ku dalam hati

Tuhan, ku mohon pertemukan diri ini dengan dia, doa ku dalam hati

Hingga akhirnya, kapal ku karam

Karam di pelabuhan cintanya

Tuhan maha baik, semesta merestui

Dengan berat hati, kembali ku singkap halaman-halaman lusuh dari buku tua yang sempat engkau pinjamkan dahulu.

Pada halaman pertama, aku bertemu dengan seorang gadis lugu yang sedang meluap rindu.

Pada halaman selanjutnya, aku bertemu dengan seorang pria pemalu yang sedang memikul pilu.

Ku katakan pada pria itu bahwa ada gadis di halaman lalu yang sedang mengukir nama nya diantara baris judul dan kata pengantar.

Si pria menjawab

"Sesungguhnya memang namaku yang ia ukir, tetapi jika kau putar halaman selanjutnya, akan kau temukan bahwa aku hanyalah halaman pembuka dari saga tentang si gadis lugu dan pangeran berkudanya"

-Alif

Tidak perlu kau tanya

Sampai bumi ini runtuh pun daku tetap bertahan

Sampai air mengalir

Dari hulu ke hilir

Tidak, seharusnya daku tak goyah

Berharap kepada Sang Hyang Karsa jadi utama

Berharap jalan ini terang

Agar tetap sampai tujuan

Jadi tolong percayalah

Misi ini tak main-main

Kesetiaan ini terjamin

Bahkan sampai sang bagaskara terbelah

Kau tetap satu-satunya

*Note : Dayita, diambil dari bahasa sansekerta. Biasanya digunakan untuk nama anak perempuan. Namun dalam beberapa bahasa Dayita memiliki arti lain, yang menurut penulis memiliki kesan romantisme. Arti dari Dayita ialah "Kekasih".

Adakah selasa lalu kala kita memutuskan tentang satu hal dan perkara?

Masih fasih ku ingat, Bagaimana aku terduduk lesu membungkuk, sedang kau berlari kecil diatas perihal jika dan seandainya.

Begitupun sebaliknya, mungkin fasih kau ingat, bagaimana kau dan lentik jemari kecil mu itu merayap pada ruang-ruang yang tak seharusnya engkau raba.

Pada rongga hampa yang mungkin dahulu terlalu najis untuk engkau jamah.

Pada waktu-waktu lalu yang mungkin dahulu terlalu berharga untuk sekedar menjadi kita.

Pada ku yang sedari tadi menatap ruang kosong dimana seharusnya kita merangkai memoar tentang rintik hujan pada langit-langit malam?

Tentang debur ombak dan senandung burung camar?

Atau lebih sederhana, tentang bagaimana kita merangkai kisah yang sama sekali tak pernah ada.

-Alif

Tuan…

Boleh ku pinjam matamu?

Agar ku tahu, seberapa indah pandangan mu tentang puan mu terkasih

Boleh ku pinjam jemari tanganmu?

Agar ku tahu, seberapa erat kau menggenggam puan mu terkasih

Dan, apakah boleh ku pinjam hatimu?

Agar ku tahu, seberapa besar cintamu teruntuk puan mu terkasih

Tuan…

Februari lalu, kau memberi tanya kepada puan mu

Juni lalu, di musim hujan puan mu memberi jawab

Tuan…

Setelah musim penghujan, ia membawa kembali musim panas

Setelah tangis, ia menghadirkan tawa

Setelah patah, ia menghadirkan tuan sebagai penyembuh puannya

Semesta adil bukan?

Tuan…

Agustus di musim panas, semesta memberi tahu mu

Bahwa puan mu mempuisikan kata

Hanya beberapa kata yang ia torehkan di lembaran kertasnya

“SELAMAT ULANG TAHUN, TUAN”

Agustus mu memang indah, tidak mengecewakan

Dan semoga pun, Tuan juga