Jeratan Para Suami

Desember 10, 2021

 Oleh: Ramli Lahaping

 

Langit sore sedang mendung. Angin bertiup kencang. Samri melangkah menuju ke pantai sambil mengisap sigaret dengan khusyuk, seolah hendak menghangatkan tubuhnya yang dingin. “Sepertinya alam belum benar-benar bersahabat. Apa kau yakin akan pergi melaut?” tanyanya kepada Hardi, seorang sahabatnya, setelah dua hari mereka tidak melaut karena cuaca yang buruk.

Hardi pun mendengkus mendengar kegamangan Samri. “Iyalah!” balasnya, dengan nada seakan-akan meremehkan. “Kau seperti baru kemarin saja menjadi seorang nelayan. Kalau selamanya cuaca tidak tenang, apa selamanya juga kau akan menganggur?”

Samri tertawa saja atas ledekan Hardi. Ia tak menentang dengan kata-kata, seolah mengerti bahwa sudah menjadi tanggung jawabnya pula sebagai seorang suami untuk mencari rezeki di laut, meski harus menantang ombak.

Sesaat kemudian, Hardi tiba-tiba tergelak, lantas menuturkan isi hatinya, “Lagi pula, aku merasa lebih nyaman berada di tengah laut ketimbang tinggal di rumah dan mendengarkan ocehan-ocehan istriku. Inilah, itulah.”

Lagi-lagi, Samri hanya membalas dengan tawa. Pasalnya, ia pun sudah tak tahan lagi mendengar ocehan Nia, istrinya, yang selalu menagih uang belanja untuk segala macam keperluan.

Lalu, atas isi pikirannya sendiri, Hardi tampak tersenyum-senyum semringah. Ia lantas menggamit pinggang Samri, dan bertutur dengan raut menggoda, “Apalagi, aku memang sudah harus pergi melaut. Harga ikan mahal gara-gara cuaca, dan Hani harus mendapatkan pasokan yang murah,” katanya, lantas mengedut-edutkan alisnya.

Melihat sikap genit Hardi, Samri pun tertawa pendek, kemudian menasihati, “Jangan macam-macam. Ingat istrimu. Bisa-bisa ia mengamuk kalau kau berlaku serong.”

Hardi pun melengos dan menggeleng-geleng. “Dia tidak akan tahu, kecuali kau bercerita kepadanya.”

Samri mendengkus saja. Tetapi diam-diam, ia terusik juga mengetahui rahasia hati Hardi. Ia khawatir kalau-kalau Hardi mendahuluinya untuk melakukan pendekatan kepada Hani yang telah ditinggal mati suaminya akibat kecelakaan kapal saat melaut, empat bulan yang lalu. Apalagi, sudah sangat lama ia memendam perasaan kepada sang janda yang kini tetap menjadi penjual ikan sepeninggal suaminya itu

Saat kemudian, mereka pun sampai di bibir pantai.

“Apa kau benar-benar yakin untuk pergi melaut?” tanya Samri lagi, sembari memandang-mandangi langit dan merasa-rasai embusan angin.

Dengan sikap cuek, Hardi pun membalas dengan enteng, “Keadaan ini cuma ancaman. Sebentar juga akan reda. Kalau kau memang takut, kau tak usahlah melaut, karena ketakutan lebih berbahaya daripada ombak.” Ia lantas naik ke atas perahunya. “Baiklah. Aku akan pergi, demi Hani,” tuturnya, lantas tertawa lepas.

Samri pun mendengkus gemas menyaksikan tingkah Hardi.

Seketika pula, Hardi menyalakan mesin perahunya, kemudian meluncur menyusuri lautan.

Akhirnya, tinggallah Samri dengan kebimbangannya. Ia lantas duduk di atas pasir, sembari memandang-mandangi perahunya. Ia kembali menimbang-nimbang suasana alam dengan insting nelayannya. Hingga akhirnya, ia memantapkan hati untuk tidak memaksakan diri. Ia memilih untuk menangguhkan perkerjaannya lagi. Ia merasa cuaca masih tidak stabil dan mengandung potensi bahaya.

Tetapi keputusannya itu, tidak sepenuhnya berdasarkan naluri pelautnya, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh suasana hatinya. Pasalnya, diam-diam, ia begitu berhasrat untuk berkunjung ke tempat Hani menjual ikan dan membuka kios kecil. Ia ingin bersua dan bercakap-cakap dengan janda itu. Ia ingin mendapatkan perhatian sang janda sebelum Hardi memulai siasat pendekatannya.

Tanpa keraguan lagi, Samri pun melaksanakan rencananya. Ia berangkat sembari membawa sebuah kotak stirofoam penyimpanan ikan yang ia ambil dari atas perahunya. Ia ingin memberikan kotak tersebut kepada Hani untuk menggantikan kotak ikannya yang nyaris berlubang, sebagaimana yang ia saksikan saat bertandang dua hari lalu. Ia ingin membuat sang janda terkesan dan jatuh hati atas kemurahannya.

Kecenderungan hati Samri untuk menyeleweng, belakangan memang semakin kuat akibat suasana rumah tangganya yang dingin. Ia kerap mendapatkan marah dari istrinya yang mudah curiga dan tersulut cemburu. Ia bahkan harus merelakan ponselnya disita oleh sang istri setelah ia kedapatan berkirim pesan bernada mesra dengan seorang pemilik nomor yang salah sambung, meski ia hanya bermaksud usil.

Akhirnya, atas kecemburuan istrinya yang berlebihan, Samri malah tak punya beban lagi untuk menyeleweng. Ia merasa bahwa istrinya memang tak lagi memercayainya sebagai lelaki yang setia, sehingga ia tak perlu lagi khawatir kalau-kalau ia akan dicap pemain hati. Ia merasa bahwa ia akan selalu dianggap sebagai lelaki mata keranjang, sehingga ia tak segan lagi untuk sungguh-sungguh berlaku serong.

Samri sungguh merasa ringan kaki dalam memulai jalan pengkhianatannya untuk benar-benar mewujudkan tudingan istrinya. Ia begitu bersemangat untuk memberikan isyarat awal perihal perasaannya kepada Hani secara langsung, sebab ia tak bisa melakoni jalur komunikasi secara sembunyi-sembunyi dengan janda itu setelah ponselnya disita oleh sang istri.

Sesaat kemudian, Samri akhirnya sampai di balai-balai milik Hani. Jantungnya pun berdebar kencang menyongsong pertemuan dengan sang janda. Ia khawatir juga kalau-kalau sang janda segan atau enggan menerima pemberiannya. Pun, ia takut kalau kalau-kalau sang janda malah bersikap reaktif dan menentang maksud hatinya atas statusnya sebagai lelaki yang masih beristri.

Tetapi gejolak perasaannya kemudian redam ketika Hani muncul dengan raut yang teduh. “Pak Samri,” sapa Hani, sambil tersenyum.  “Ada keperluan apa, Pak?”

Samri sontak kikuk. Sambil tersenyum kaku, ia pun menyodorkan kotak ikan yang sedari tadi ia punggungi, “Aku mau kasih ini untuk mengganti kotak ikan Ibu yang tampak sudah rusak.”

Hani lantas menyambut pemberian itu dengan wajah semringah. ““Terima kasih banyak, Pak. Tetapi aku tidak harus membelinya, kan?” tanyanya, setengah serius, sebagaimana perangainya yang suka bercanda.

Samri pun tertawa pendek, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tentu tidak, Bu. Aku masih punya banyak kotak seperti itu di kapal,” balasnya, tenang, sebab ia tidak melihat kerisihan di wajah Hani. Ia bahkan menerka bahwa janda itu senang atas keberadaan dan pemberiannya.

Namun di tengah kekhidmatan proses pendekatan itu, tiba-tiba, Mila, tetanggganya yang tak lain adalah istri Hardi, datang dengan mengendari sepeda motor seorang diri. “Pak Samri kok ada di sini? Bukannya Bapak pergi melaut?” tanyanya, keheranan.

Seketika, Samri kelimpungan. Ia pun berpikir keras untuk meramu jawaban. Apalagi, ia merasa kurang tepat kalau menjadikan perkara cuaca sebagai dalihnya, sebab suami Mila sendiri pergi melaut di tengah cuaca yang kurang bersahabat. Sampai khirnya, ia mengungkapkan alasan karangannya, “Ada masalah dengan mesin perahuku, Bu.”

“Oh,” seru Mila, dengan nada yang panjang. “Sudah kuduga. Bapak pasti sudah berada di tengah laut seperti suamiku jika tidak ada masalah serius. Bapak pasti sudah menjaring banyak ikan untuk anak dan istri Bapak di rumah, dan Bapak tidak akan keluyuran sampai di sini,” sambungnya, sambil memanyunkan bibir dan mengedipkan mata kepada Hani, seperti menyuratkan singgungan untuk Samri.

Merasa disudutkan, Samri pun segera memoles alasannya, “Aku ke sini untuk membeli rokok, Bu.”

Mila sontak tertawa pendek, seperti menaruh curiga atas keputusan Samri membeli rokok di kios Hani ketika banyak kios lain yang lebih dekat dari sisi pantai. Namun ia tak memojokkan Samri demi sebuah pengakuan. Ia lekas saja membeli tepung yang katanya sebagai bahan membuat kue untuk suaminya, kemudian pergi dengan sikap mendakwa.

Akhirnya, setelah kehadiran Mila, Samri jadi kehilangan selera untuk berlama-lama dengan Hani. Ia tiba-tiba jadi khawatir kalau-kalau istrinya akan murka setelah mendengar cerita miring Mila tentang dirinya dengan Hani. Karena itu, tanpa menunda waktu, ia pun segera membeli rokok untuk menutupi kebohongannya, kemudian beranjak pulang ke rumahnya.

Sepanjang perjalanan, Samri pun terus memikir-mikirkan alasan kalau istrinya benar-benar mengamuk dan menginterogasinya. Ia tentu harus menyanggah dengan kata-kata tepat. Namun akhirnya, ia sadar bahwa atas kilahan yang terlanjur ia ucapkan kepada Mila, ia pun harus mengucapkan kilahan yang sama kepada istrinya untuk menghindari kontradiksi yang malah bisa meruwetkan perkaranya.

Tetapi beberapa saat kemudian, Samri pun terheran setelah menjumpai kenyataan yang jauh di luar dugaannya. Tiba-tiba saja, setelah ia berada di halaman rumahnya, di tengah waktu antara siang dan malam, Nia, istrinya, seketika mendekat dan memeluknya erat-erat.

“Aku sangat mengkhawatirkan Bapak,” kata Nia kemudian, sembari berurai air mata. Ia lalu mengurai pelukannya. “Syukurlah, Bapak tidak pergi melaut hari ini.”

“Memangnya kenapa, Bu?” tanya Samri, penasaran.

Nia lalu menoleh dan menuding pada Mila, istri Hardi, yang tampak kalut di kolong rumah panggungnya sambil menempelkan ponsel di telinganya. “Sedari tadi, Mila telah berusaha menelepon suaminya, tetapi tidak juga tersambung.”

“Memangnya, apa yang terjadi?” tanya Samri lagi.

“Angin kencang, Pak. Ombak laut tinggi. Orang-orang yang terlanjur melaut, berada di dalam bahaya. Beberapa di antaranya telah hilang kontak, termasuk Hardi,” terang Nia.

Seketika, Samri pun terkejut mendengar penuturan istrinya. Ia tak menduga bahwa penyelewengan hatinya telah menghindarkannya dari bahaya.

“Aku minta maaf atas sikapku selama ini, Pak,” tutur Nia kemudian, dengan raut menyesal. “Kini, aku menyadari bahwa penting untuk Bapak memegang ponsel. Aku tak ingin lagi Bapak berada di tengah laut tanpa bisa memberikan kabar kepadaku.”

Samri pun mengangguk dan tersenyum haru. “Terima kasih, Bu,” balasnya, dengan arah pikiran yang menjurus ke mana-mana.

Beberapa saat kemudian, mereka berdua lantas bertandang ke rumah Mila. Mereka hendak membesarkan hati Mila untuk tetap berharap demi kemungkinan yang baik, bahwa suaminya akan pulang dengan selamat.

“Bersabarlah, Bu. Suami ibu adalah nelayan yang ulung. Ia pasti bisa menaklukkan laut,” pesan Nia, sembari merangkul dan mengusap-usap lengan Mila.

Dengan penuh kecemasan, Mila pun mengangguk-angguk. “Semoga Tuhan menyelamatkannya, Bu. Dia adalah sandaran hidup bagiku. Dia adalah suami yang tulus bekerja keras demi aku dan anak-anakku.”

“Berdoalah,” tanggap Nia.

Samri pun terenyuh.***

 

---------------------------------------------------------
TENTANG PENULIS


 
 
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi), Instagram (@ramlilahaping), atau email (ramli.fhuh@gmail.com).

 

You Might Also Like

0 komentar