Seppuku dan Jigai: Sebuah Pembedaan Ritual Bunuh Diri Berbasis Gender

Agustus 09, 2022

Oleh: Andri Fernanda

(Founder Mediatikusastra)



Image Source: shutterstock (Edi Wahyono)
 

Bila kita mendengar kata bunuh diri dan dihubungkan dengan negara Sakura, tentu terbesit di dalam pikiran kita tentang 3 hal; samurai, pedang dan Hara-Kiri. Jepang memang mempunyai cara pandang dan jejak historis tersendiri terkait bunuh diri, bahkan mereka memberikan ruang dan ritus bagi mereka yang ingin mengakhiri hidupnya. Semacam cara mengakhiri hidup yang bermartabat, sehingga kematian orang tersebut tidak masuk dalam kategori mati konyol atau sia-sia, malah sebaliknya, orang yang mengakhiri hidupnya tersebut akan mendapatkan kehormatan atau penebusan, dan dipandang sebagai seorang lelaki sejati yang loyal pada keluarga atau kelompoknya. Ritual ini biasa kita kenal dengan sebutan Hara-Kiri. Hara-Kiri merupakan sebuah ritual mengakhiri hidup di Jepang yang sudah sangat terkenal di dunia. Hara-kiri, yang mana Hara berarti perut, dan Kiru berarti menusuk. Sebenarnya, jika kita melihat konteks penggunaan kata Hara-Kiri di Jepang sendiri, penggunaan kata ini sebenarnya sangat jarang dipakai, karena orang-orang Jepang lebih terbiasa menggunakan kata Seppuku yang secara substansi memiliki arti yang sama. Tidak ada perbedaan antara Hara-Kiri dan Seppuku. Perbedaannya, kata Hara-Kiri dipakai dalam konteks modern, tetapi bila dalam suatu acara atau ada bahasan terkait ritual bunuh diri di Jepang ini yang harus dituliskan di kertas, kata Seppuku merupakan kata yang dipandang lebih sopan digunakan daripada kata Hara-Kiri. Budaya Hara-Kiri ini bukanlah cara mengakhiri hidup secara asal-asalan, ada tata cara dan tahapan dalam melakukannya. Ritus ini sudah sangat dikenal sejak zaman kesatrian kaum Samurai (sekitar abad 12), meskipun akhirnya pada tahun 1868 ritus ini secara resmi dilarang. Bila Berbicara Hara-Kiri yang identik dengan samurai dan laki-laki, apakah ada ritual bunuh diri yang dikhususkan untuk perempuan?

Seperti yang diketahui, Jepang memiliki budaya yang cukup kental akan patriarki, banyak hal ̶ bahkan hal-hal mendasar ̶ dilakukan pembedaan antara laki-laki dan perempuan, dan ritual bunuh diri menjadi salah satunya. Ritual bunuh diri yang dilakukan oleh wanita disebut dengan Jigai; yang berarti sama, bunuh diri, atau juga sering disebut Jisatsu pada masa sekarang (namun istilah ini kemudian digunakan untuk menyebut bunuh diri secara umum). Ritual bunuh diri ini dilakukan oleh para wanita dari keluarga kaum ksatria samurai dengan cara memotong urat nadi mereka dengan satu kali tebasan pisau tanto atau kaiken. Pemilihan cara bunuh diri dan pisau yang digunakan memiliki alasan yang kuat, yaitu agar kematian terhadap wanita tersebut datang lebih cepat (jika mungkin tanpa melalui rasa sakit). Dengan demikian, wajah dari mayat wanita yang telah melakukan Jigai akan tetap terlihat biasa saja tanpa ekspresi kesakitan. Tidak seperti kaum pria yang wajah mayatnya akan seram karena ekspresi kesakitan ketika melakukan ritual seppuku. Wanita yang melakukan ritual bunuh diri atau Jigai harus tetap menunjukkan wajah yang anggun, karena menampilkan ekspresi keanggunan merupakan bentuk kehormatannya sebagai seorang wanita dan mesti ia jaga bahkan pada saat ia mengakhiri hidupnya.

Ada beberapa proses sebelum seorang wanita melakukan Jigai, wanita tersebut harus duduk dengan posisi bersimpuh agar posisi meninggalnya tetap anggun dan terhormat. Ritual Jigai ini bukanlah sebuah ritual bunuh diri biasa, ritual ini mengandung makna dan pesan kehormatan. Ketika suami atau ayah dalam suatu rumah tangga menjadi seorang pimpinan dalam sebuah kelompok bushi dan kalah dalam berperang, maka para wanita di dalam rumah tangga tersebut lebih baik memilih membunuh dirinya sendiri daripada harus menyerah dan diculik oleh para musuh yang datang dan mengepung rumah mereka. Sehingga ketika para pasukan lawan memasuki rumah, mereka akan menemukan para wanita di rumah itu duduk bersimpuh membelakangi pintu dan sudah meninggal.

Langkah-langkah ritual bunuh diri ini diajarkan turun temurun dari ibu kepada anak perempuannya. Tindakan bunuh diri dari para wanita kaum ksatria samurai ini dianggap mencerminkan kehormatan dan harga dirinya sebagai seorang wanita. Karena bagi mereka, lebih baik mati dengan cara bunuh diri daripada harus ditangkap oleh musuh, diperlakukan dengan tidak hormat, dan ̶ akhirnya pun ̶  akan tetap mati di tangan musuh.





-----------------------------------------------------
TENTANG PENULIS
 



Andri Fernanda Pernah mengambil studi S2 Ilmu Sastra di Universitas Gadjah Mada, dan menyelesaikan tesisnya di Monash University, Australia. Merupakan salah satu penerima hibah tesis luar negeri FIB UGM 2016. Saat ini menyibukkan diri sebagai dosen Sastra di salah satu Universitas Negeri, mengelola dan mengawasi Mediatikusastra sambil ngopi, dan tentunya menikmati hidup.







You Might Also Like

0 komentar