Sanja kala Itu

Agustus 11, 2021


Oleh: Helga Patrisia Octaviani


Captain Morgan,” katanya dengan jari telunjuk menunjukkan angka satu dan sudah separuh mandam kepada pelayan kafé itu.

Malam begitu larut, aku memperhatikan gerak- geriknya dari sudut kafé yang jendelanya menghadap ke jalan raya. Suara bising kendaraan pun mulai redup dengan bertambahnya menit berlalu semuanya hampir lenyap. Pria itu sesekali menutup matanya dan menaruh jari- jarinya pada bagian pelipis kepala. Sepertinya beberapa minuman alkohol yang telah ia minum sudah cukup membuatnya sedikit terombang- ambing dilarutnya malam, namun kurasa itu belum cukup. Sebab, baru saja kulihat ia memesan lagi sebotol Captain Morgan dengan sendirinya. Ia merogoh koceknya untuk mendapatkan sesuatu yang dapat ia baca sembari menunggu pelayan mengantarkan pesanannya. Pakaiannya yang berwarna gelap sungguh mendukung suasana ini, juga terdapat sekotak cerutu dari rogohan koceknya. Kupikir kafé ini dilarang untuk merokok jika kau memesan di bagian dalamnya, kenapa tidak memesan kursi bagian luar saja?

“Aku kacau, Sanja.” Gumamnya tiba- tiba.

Aku terdiam sejenak, seketika tahu bahwa namaku yang keluar dari mulutnya. Ternyata itu adalah fotoku yang berusaha ia raih dari rogohan koceknya. Jarakku dan pria ini tak begitu jauh, namun dapat kupastikan ia tidak melihatku, ditambah lagi pengaruh alkohol yang telah dirinya teguk. Ia duduk menyamping dariku di tengah ruang kafé ini, menghadap ke arah pintu masuk. Sepertinya ia masih dapat mendengar langkah kaki seorang pelayan yang menuju ke arah mejanya.

“Permisi, ini pesanan Anda.” Kata pelayan itu. Ia mengangguk kecil dan membiarkan pelayan itu menuangkannya ke dalam double shooter glass. Tanpa bertanya lagi, ia langsung membayar sekaligus memberikan tip kepada si pelayan. Sudah jelas tampak raut wajah sang pelayan yang sumringah menerima tip dari Tuannya. Masih bisa rupanya kau berfoya- foya di hari kematian ayahmu, hatiku bergumam.

“Arome,” Panggil seseorang dari arah pintu masuk. Ya, memang terdengar seperti seorang wanita.

Ia sedikit mendongak, untuk melihat siapa yang datang. Wanita itu duduk tepat di depannya. Balutan kain magenta di tubuhnya sungguh tampak elegan, dengan bibir berwarna gelap dan rambut terurai sebahu. Tanpa bertanya pula, ia meminta pelayan untuk mengambilkannya double shooter glass semacam Arome miliki dan pula juga wanita ini menuangkan alkohol itu ke dalam miliknya lalu meneguknya secara perlahan.

“Bagaimana pemakaman ayahmu, Rome?” Tanya wanita itu.

“Sepertinya baik- baik saja,” sahut Arome tertawa kecil di ujung tegukannya yang terakhir.

“Jalang! Bisa- bisanya kau bilang sepertinya,”

Arome menuangkan lagi minuman itu ke dalam gelas miliknya.

“Kau tahu aku tidak akan menghadirinya, Mar.” Tambahnya lagi sembari meneguk kecil.

“Setidaknya datanglah sebentar, menemui ibumu yang pasti sangat terpukul akan kepergiannya.”

Arome terkekeh di ujung pembicaraan wanita yang ia panggil ‘Mar’ itu.

“Ibuku yang mana? Hah?”

Tampaknya Arome akan membuat keributan di sini jika ia terus meneguk minuman alkohol itu, batinku.

“Ya ibumu, dungu! Kau pikir siapa? Ibu si wanita jalang itu?” Mar sedikit menaikkan nada bicaranya.

Seketika Arome meletakkan gelasnya dan menatap Mar lekat- lekat.

“Jaga ucapanmu,” Ucap Arome singkat lalu mengambil gelasnya lagi.

“Haha, tidak kusangka kau sungguh mencintai adikmu itu,”

Arome terdiam di sayup- sayup alunan musik jazz yang diputarkan oleh kafé ini. Begitu juga aku setelah mendengar pernyataan wanita bernama ‘Mar’. Ada sedikit yang membuat dadaku sesak jika teringat akan hal itu. Aku perlahan menenangkan diri dan meminum kopi yang telah kupesan.

“Marion, namamu terdengar indah, seperti rupamu, cantik, dan lelaki mana yang tidak akan terkesima? Matamu bagai bulan di tengah malam gelap, begitu syahdu dan menenangkan jiwaku yang berlarian ke sana ke mari.” Kata Arome setelah sedikit lama terhanyut oleh alunan music kafé ini.

“Lalu, mengapa kau tidak menikahi aku sesuai permintaan ayahmu kala itu?” Sahut Marion dengan mata yang tertuju pada Arome.

Arome memainkan gelasnya, memutar- mutarnya dengan kedua tangan, dengan mata sayup memandang lekat gelas itu.

“Mar,” Panggil Arome kepadanya.

“Apa?” Marion meneguk tegukan terakhir di gelasnya.

“Marion, samudera kepedihan.” Tambahnya lagi.

“Lalu, kenapa?”

“Mar, namamu cukup membuat orang bersimpati akan dirimu jika mereka tahu arti yang sebenarnya.” Arome membalas tatapan Marion yang sedari tadi memandangnya hangat.

“Jangan mengalihkan pembicaraan, Rome. Kau selalu begitu, aku tak suka.” Timpal Mar dengan nada sedikit kesal.

“Sayang, apa yang akan kau harapkan dari aku, laki- laki yang telah berapa kali meyakiti hatimu ini?” Tanya Arome dengan lembut kemudian menuangkan minuman beralkohol itu lagi dan lagi ke dalam gelasnya.

Marion membisu di ujung peracakapan terakhir dirinya dengan Arome. Matanya tampak berkaca- kaca, sepertinya sedang menahan isak tangis, sebab malam yang menuju pagi ini begitu sunyi, hingga jarum sekecil apapun jika terjatuh pasti akan terdengar.

“Kisah kita terlalu pedih, Mar. Aku yang amburadul, dan kau yang tenggelam di samudera kepedihanmu sendiri. Seharusnya kita menjadi sepasang kekasih, karena cerita pahit yang kita alami sama adanya.”

“Aku tidak mengerti, lalu apa maumu sekarang, Rome?”

“Maafkan aku, aku mencintai orang lain, Mar.” jelas Arome.

Suara rintik hujan mulai terdengar dari balik dinding kafé ini, dingin, itu yang kurasakan terhadap Marion. Aku tidak dapat berkata apapun di sudut ruangan ini, tanpa mendengar percakapan ini sekalipun, aku sudah tahu jawabannya. Rasa bersalahku kepada wanita yang dipanggil ‘Mar’ ini tak terbendung lagi. Maafkan aku juga, Mar, aku tak bermaksud membuat priamu itu jatuh hati kepadaku. Bahkan diriku sendiri saja tak dapat kumaafkan. Dia hanya ingin melawan takdir, Mar. Dia masih belum bisa menerima kenyataan yang terjadi antara aku dan dirinya.

“Pasti dia, wanita yang kau cintai, adikmu sendiri. Sadar, Rome! Kalian hanya berbeda ibu, kalian masih satu darah.” Jawab Mar.

“Aku tahu, Mar. Tapi kenapa tidak dari dulu saja ayah memberi tahu bahwa ia punya wanita simpanan, dan kenapa baru sekarang sebelum kematiannya, ia memberi tahuku bahwa Sanja adalah anak kandungnya juga? Ketika aku dan Sanja sudah menjalin hubungan bertahun- tahun, kenapa, Mar?” Timpal Arome dengan nada kesal. Ia meneguk minumannya kembali, dan telapak tangan menopang pelipis bagian kirinya di atas meja.

“Sudah, Rome. Cukup, ayo pulang.” Marion beranjak dari kursinya dan menarik tangan sebelah kanan Arome untuk mengajaknya pulang.

Pria itu menepis tangan Marion dan kembali ke posisi semula. Mar tetap berusaha meraih tangan Arome kembali untuk mengajaknya pulang setelah melihat kondisi Arome yang tidak memungkin untuk balik dengan sendirinya. Namun, Arome menepisnya kembali dengan kasar.

“Pelacur! Pergi sana, kau tidak akan mengerti keadaanku!” Arome mengumpat di depan wanita itu.

“Kau sungguh bajingan, Rome. Begini caramu menyelesaikan semua masalah? Hah?!” Ucap Mar lalu menampar keras pipi kiri Arome.

“Tetaplah tinggal, di luar sana hujan, Sayang.” Kata Arome sudah tak begitu sadar akan perbuatannya.

Marion tidak bisa lagi menahan air matanya dan pergi begitu saja tanpa menoleh ke belakang. Gaun eloknya dibasahi rintik hujan, terlihat dari jendela besar kafé ini. Ia menerobos hujan sesekali menarik nafas dari isak tangis yang kian menjadi- jadi lalu menghilang di keriuhan hujan tengah malam. Rasa sesak itu muncul lagi di dadaku. Marion pun telah berlalu, sampai kapan aku akan di sini memperhatikanmu saja? Pria jangkung itu tampaknya sudah tak bisa lagi mengangkat kepalanya, dua orang pelayan mencoba membangunkannya dan menyadarkannya sebab mereka takut bahwa Arome akan membawa keributan setelah kejadian barusan. Dengan segera aku beranjak bangkit dari tempat dudukku dan mendekati meja Arome. Aku langsung memberikan penjelasan kepada kedua orang pelayan tersebut bahwa aku adalah bagian dari keluarganya, jadi aku yang akan mengurus sisanya. Mereka pun mengangguk mengerti kemudian pergi menjauhi meja ini.

Aku duduk di depannya, di kursi sewaktu Mar menggunakannya tadi. Aku yakin kepalanya sudah pusing untuk mendongak kedepan, tapi kuyakin manusia ini dapat mengenali suaraku. Melihatnya menggunakan kemeja dan jins berwarna hitam, aku yakin ia sebelumnya sudah siap untuk menghadiri pemakaman ayah hari ini, tapi ntah kenapa kau berakhir seperti ini, Arome. Kutatap setengah wajahnya yang terbenam di balik lipatan kedua tangannya itu. Ternyata kau masih sama, bau khasmu yang selalu kurindukan, lekukan hidungmu yang dulu selalu terjamah oleh jemariku, bibirmu yang tipis merah muda keunguan itu, dan logat bicaramu yang khas. Am, begitulah caraku memanggilnya, sungguh aku merindukanmu.

“Aku ingin jujur, Am.” Kataku menatapnya, dan ia yang masih memejamkan mata, membenamkan setengah wajahnya yang menghadap ke arah samping. Ia tampaknya tertidur pulas. Aku memberanikan diri untuk mengelus rambut tipisnya itu, sudah lama sekali rasanya.

“Aku ingin jujur, mungkin ini untuk terakhir kalinya, dan  aku tak berani bilang padamu jika kau dalam keadaan sadar. Iya Am, aku seorang pengecut.” Kataku lagi sembari mengusap lembut rambutnya.

“Am, waktu itu aku memperkenalkan diriku sebagai puteri stroberi dan kau sebagai tuan beruang, ingat tidak? Memang lucu rasanya jika mengingat kejadian di bangku kuliah saat kita memasuki sebuah organisasi yang sama. Saat itu aku belum mempunyai rasa padamu, Am. Dan kurasa begitu juga dengan engkau. Lalu di hari setelahnya, aku dan kau selalu dipertemukan secara tak sengaja, kupikir ini hanya kebetulan, namun berulang kali. Sampai akhirnya aku dan kau sedang terjebak hujan dan menunggu kedatangan bus selanjutnya di halte waktu itu.  Rasanya tidak mungkin untuk tidak menyapa, sedangkan kita saling mengenal satu sama lain karena sempat beberapa kali bertemu, dan pula satu organisasi. Am, ingat tidak, katamu hujan kala itu tidak romantis? Dan bahkan langit senjanya tidak berwarna pirus. Mengapa, Am? Masih belum kutemukan jawabannya hingga sekarang. Bukankah pertemuan kali itu singkat, Am? Lalu sekarang kita telah berubah. Kita masih saling merindu, namun tak pernah lagi terucap dan menitipkannya pada awan, serta angin yang menggebu. Kau bukan satu- satunya yang merasa tersakiti, Am.” Aku mengusap air mataku sesekali.

“Ayo bertemu lagi dikehidupan selanjutnya, Am. Bukan tentang karma yang lalu dan sekarang terulang, tetapi tentang diri kita yang seutuhnya, kau dan aku yang baru. Kau tahu, aku begitu mencintaimu.”

 

 

===========================TAMAT============================

 

---------------------------------------------------------
TENTANG PENULIS
 
Helga Patrisia Octaviani
@hgpatris
 
 

 

 

You Might Also Like

0 komentar