Dibalik Tren Pailit Saat Pandemi

Mei 11, 2021

 

Oleh: Valentin Oktaviani

(Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung)




Image Source: finance.detik.com (Edi Wahyono)
 

Wabah pandemi virus Corona yang melanda di seluruh dunia terutama di Indonesia telah membawa dampak yang luas dalam berbagai bidang aspek. Salah satu aspek yang paling terdampak cukup luas adalah aspek perekonomian. Segala jenis pembatasan sosial dilakukan secara masif oleh Pemerintah guna menekan laju pertumbuhan kasus positif di Indonesia. Hal ini tentunya berdampak dalam kegiatan perusahaan, proses produksi yang dulunya melibatkan banyak karyawan kini beberapa diantaranya mengalami kesulitan bahkan menghentikan operasi proses produksinya. Akibatnya banyak perusahaan yang mengalami kerugian yang akhirnya melakukan PHK terhadap karyawannya dan bahkan terpaksa untuk gulung tikar atau pailit karena tidak mampu untuk memenuhi kewajiban utangnya.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan pailit itu? Secara umum pailit adalah suatu keadaan dimana debitur (baik orang perorangan maupun badan hukum) tidak dapat atau tidak mau lagi untuk memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya kepada para kreditur. Terhadap permohonan pailit dapat diajukan ke Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum oleh debitur sendiri atau oleh krediturnya, serta dapat pula diajukan oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Utang.

Dampak pandemi virus Corona menyebabkan sejumlah perusahaan mengalami pailit, beberapa diantaranya adalah Sentul City, Ace Hardware, PT Cowell Development, Koba Tin, dan masih banyak perusahaan lainnya terutama yang bergerak dalam sektor industri properti. Bahkan menurut data yang diperoleh dari kompas.com telah ada 800 industri di Provinsi Banten yang mengalami bangkrut. Jumlah ini sangat memprihatinkan karena berdampak pada masyarakat yang kehilangan pekerjaannya yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Kebanyakan perusahaan-perusahaan tersebut mengalami pailit cenderung dikarenakan tidak mampu untuk membayar kewajiban utangnya kepada kreditur. Perkara pailit seakan sudah menjadi solusi bagi perusahaan yang mengalami kerugian finansial. Hal ini dapat dilihat dari peran ganda Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Utang (UU Kepailitan dan PKPU), yang mana undang-undang tersebut dapat digunakan oleh kreditur agar debitur melunasi kewajiban utangnya, sedangkan dalam beberapa kasus UU Kepailitan dan PKPU ini dapat digunakan oleh debitur sebagai jalan keluar untuk lepas dari pemenuhan kewajibannya kepada kreditur.

Kepailitan dapat saja menjadi solusi agar lepas dari jeratan utang. Namun yang perlu diketahui adalah kedudukan kreditur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Utang memiliki beberapa jenis kreditur yang diutamakan untuk dibayar. Jenis-jenis kreditur tersebut ada 3 (tiga) yaitu kreditur separatis, kreditur preferen, dan kreditur konkuren. Diantara ketiga jenis kreditur tersebut, kreditur preferen merupakan kreditur dengan hak istimewa atau hak prioritas untuk didahulukan pembayaran atas utang debitur sesuai dengan ketentuan Pasal 168 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Utang. Kreditur lain selain kreditur preferen akan menerima pembayaran utang apabila sudah dilakukan pemenuhan pembayaran utang kepada semua kreditur preferen.

Menurut Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia, konsumen industri properti menjadi pihak yang dirugikan dalam kasus kepailitan dan PKPU. Hal ini tak lain dikarenakan kedudukan konsumen bukan sebagai kreditur preferen yang mendapatkan prioritas pembayaran, melainkan konsumen berposisi sebagai kreditur konkuren. Akibatnya banyak konsumen yang merasa tidak terima atas putusan pailit perusahaan properti dan putusan pailit tersebut menguntungkan para investor yang membeli surat utang perusahaan sehingga mendapatkan kedudukan sebagai kreditur preferen. Oleh karenanya, Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Utang perlu untuk dilakukan revisi dengan memberikan perlindungan terhadap konsumen terutama di sektor industri properti sehingga memberikan kedudukan yang setara terhadap semua kreditur dalam pembayaran utang.

 

You Might Also Like

0 komentar