Senja jam lima

April 04, 2021

 


Oleh: Firsty Rosiana

Aku di bukit kasih. Perjalanan detik adalah rangkaian puisi bersambung. Dalam pejam, kukatakan rusuku sedang tak baik. Kitab masih membungkus akalku seperti inginmu. Kukenang hari kemarin, kerutan tangan muliamu menyuapiku semangkuk bubur petuah. Lalu kudengar notasi angin melagu melantunkan syair bila kau sedang tak nafsu makan. Apa benar ?

Aku menyaksikan seksama di megahnya senja,  rombongan Ardeola speciosa berdansa samba setiba dari plesiran mengisi perut lapar, berangkat jam enam pagi tak kurang. Rupanya juga berlaku pesta senja. O, mengerti. Kukatakan bukan kesemogaan, nanti kita menyambal patin bersama sebelum berdansa cha cha cha. Ya ? Merica akan kutumbuk lima kali melambat kemudian kugerus halus, petuahmu. Lengkuas, serai, akan kutumbuk saja sembilan kali agak cepat, petuahmu. Si ketumbar hanya perlu ku tumbuk tujuh kali melambat, kemudian kugerus.

Bait-bait awan putih melebur merangkai nostalgia. Dedaunan kebun yang menimbun menjadi sampah, kemudian kau asapi timbul asap, apa kau ingat ?  Tanyaku dulu, apa awan di langit adalah asap yang menjulang naik? kau menertawakanku.

Dan  kenangku memanggil pulang.

Rindu sudah gejala, tak lagi hipotesis. Rindu yang keras kepala benar-benar ada, namun  tetap filosofis. Bisa diredam bila mau mengikuti upacara senja di bukit kasih. Itu  pun kau harus bersiap diri, bersedia bila makin parah gundahmu, lagi stetoskop menanti tanggung jawabmu. Senja sejatinya jebakan aji. Televisi menyala berita biakan saja.

Senja sudah pentas.

Separuh langit menyuguhkan merah keemasan. Surya dengan sinar biasnya beranjak tenggelam, perlahan-lahan. Pertanda tugas mulianya berakhir.  Peristiwa sedap dirasa itu dinamai upacara senja, katamu dulu padaku. Kau sebut itu upacara senja. Upacara senja sebelum detiknya dilahap gelap. Senja satu diantara karya estetik Tuhan. Tuhan menjadikannya ada menawarkan teori berkehidupan, ada petuah,  juga ada pepatah.

 Seorang perempuan berturban ceruti sedang berdiri memandang gorden jendela kayu. Saking tak mau dipandang senja sedang sehat, perempuan bertangan ajaib memutuskan sembunyi. Perempuan berturban tak mau menghadiri pesta senja walau sehat. Diintipnya dari jalusi, pegelaran upacara senja sedang berlangsung hikmat. Sengaja digenggamnya selendang merah muda, tampak manik-manik menyurupai pesona merak untuk ditunjukkan semesta. Radio menyiarkan nyanyian berita tak menyuruhnya memejam, walau akhirnya memejam. Didengarnya begitu merdu petuah diminta bersabar lagi. Tak ada sesendok kerlingan dimatanya menjatuhkan  mutiara menumbuh harapan. Bila upcara senja kemarin dibalik jendela jalusi, perempuan bertangan ajaib  pertontonkan rok tutu rajutnya yang menawan.

Jelang pukul lima sore selalu diterimanya amplop pos semu berisi sehelai surat undangan tertanda tangan dari semesta. Ia diminta datang menghadiri pesta senja jingga di bukit kasih.

Ini bukan undangan pesta, ini upacara senja. Bedebah!  amukmu kudengar.

Untuk sekian  kalinya, perempuan berturban  nan bertangan ajaib memutuskan tidak datang lagi. Ia tak mau terjebak menghadiri pesta senja. Sudah ratusan amplop dari semesta hanya ditelan saja, sejak maret lalu. Rabunnya, ia masih sanggup membaca kata demi kata. Bila amplop dari semesta tiba mengetuk relung hati, ia sudah pasti tak akan menghadiri pesta senja. Merajut caranya membalas undangan diterimanya dari semesta. Janjinya perempuan berturban saat menjumpai Ardeola speciosa di ladang jagung, ia akan menghadiri pesta senja jingga ketika ayunda pulang nanti. Di  bukit kasih nanti, janjinya bersama ayunda membawa sesangku tiwul.

 

---------------------------------------------------------
TENTANG PENULIS

Penulis lahir dengan nama lengkap Firsty Rosiana. Saat ini sedang menyelesaikan naskah cerita akan menjadi novel perdananya.  

Instagram : @firsty_rosiana

 



You Might Also Like

0 komentar