Ibuku Pulang

Februari 13, 2021

 

Oleh: Andri Fernanda
(Seorang Anak Yang Kehilangan Ibunya)


Sebuah kenangan yang diabadikan oleh istriku pada tahun 2018

 

4 Januari 2020, hari itu, tepat hari di mana aku dilantik sebagai dosen PNS, menjadi hari yang paling sedih seumur hidupku.   Sekitar jam 7 malam, aku mendapatkan kabar duka. Ayahku menghubungi istriku, saat itu ponselku mati karena aku cukup kelelahan selepas prosesi pelantikan di kampus sehingga tidak terpikir lagi untuk men-charge ponsel saat itu. Istriku mengatakan bahwa ayah menelpon. Kuangkat sambil ku-loudspeaker dan  mengucapkan salam. Tidak ada jawaban. Namun tiba-tiba terdengar suara ayahku yang sedikit terisak “bang, ibu sudah tak ada.”

Seketika semua hitam. Pekat. Kesedihan dan kesakitan yang kurasakan mengalir lebih cepat daripada air mata. Kenyataan, waktu, dan dunia berhenti dan membeku. Aku tak bisa berkata-kata, lidahku kaku, pita suaraku lenyap. Duniaku hancur hari itu. Benar-benar hancur. Tubuhku seketika dingin dan mati rasa. Seperti ada paku besar menancap di dadaku hingga aku tak bergeming, pandanganku buram, dan yang kudengar hanya tangisan istriku saat itu.  Aku tahu maksud perkataan ayahku dan aku benci itu. Dengan badan yang gemetar dan perasaan yang guncang, aku bertanya pada ayahku “ibu tidak ada? Apa maksudnya?”, Aku berharap apa yang kubayangkan terhadap perkataan ayah adalah salah. Dan ayahku hanya menjawab “ibu sudah tak ada nak, ibu sudah tak ada” dilanjutkan dengan suara isakan yang lebih kencang dari sebelumnya.

Bagiku, tempat aku kembali di dunia adalah ibu. Itulah mengapa dulu setiap menjelang hari libur –terlebih mendekati hari raya idul fitri— teman-teman kuliahku mesti melontarkan pertanyaan “mudik kemana?” dan jawabanku selalu sama. Tak tahu. Tentu itu membuat teman-temanku tertawa, masa kampung halaman sendiri tak tahu, kata mereka.  Aku memiliki cara pandang sendiri dalam memaknai “mudik” sebagai kata dan peristiwa. Menurutku, mudik bukanlah sekedar kembali ke kampung halaman, tetapi mudik adalah proses dan peristiwa di mana aku kembali menemui ibu dan ayahku. Di manapun mereka berada. Maka dari itu, jawabanku selalu tak tahu, karena bisa saja ayah dan ibuku mengunjungiku ke Yogyakarta (tempat di mana aku kuliah dan menimba ilmu saat itu), dan momen itu termasuk dalam kategori mudik bagiku.

Ibuku mengidap diabetes, badannya memang sering lemas dan beliau lebih banyak menghabiskan waktunya di kasur untuk beristirahat. Bisa dikatakan aku yang paling dekat dengan ibuku, mungkin karena aku adalah anak paling tua. Hampir setiap hari kami melakukan video call lewat Whatsapp. Ketika melihat ada panggilan telepon atau video call dari ibu, pasti langsung kuangkat.  Dalam keadaan apapun. Baik saat aku mengajar, rapat universitas, seminar, aku selalu berusaha mengangkatnya selama aku tahu ada panggilan masuk, dan itu dari ibu. Biasanya ketika ibu menelpon, yang kulakukan 2 hal; mengangkat langsung dan memperlihatkan apa yang sedang kulakukan saat itu (mengajar, seminar atau rapat), dan jika memang keadaan saat itu sedang sangat serius dan tidak memungkinkan, aku memilih keluar dari ruangan sebentar dan mengangkat telpon ibu. Hal ini hanya berlaku jika yang menelpon adalah ibu atau keluargaku. Dan itu kukatakan kepada mahasiswa dan mahasiswiku, bahwa kelas adalah sebuah tempat suci, tempat di mana terjadinya transaksi ilmu pengetahuan, maka kalian harus menghargai setiap sesi perkuliahan. Namun selalu ada pengecualian dalam segala hal. Maka dari itu, ketika kita berada di kelas dan ada panggilan dari ibu, ayah, adik, kakak, atau keluarga kalian, silakan angkat, tanyakan ada hal apa, lalu katakan bahwa kamu saat ini sedang kuliah. Kamu tidak perlu keluar kelas. Saya, serta mahasiswa dan mahasiswi lain akan diam dan hening hingga pembicaraanmu berakhir. Hal itu berlaku untuk semua yang mengambil kelasku. Bagiku, cara membahagiakan orang tua sederhana, jika kamu tidak bisa atau belum mampu memberikan hartamu, berikan waktumu.

Satu bulan sebelum ibuku wafat, aku masih intens komunikasi seperti biasa. Aku bercerita tentang Kitty dan Boy (kucingku), tanaman lidah buaya, dan banyak hal. Ibu tahu bahwa aku berniat untuk menjalankan usaha di bidang pendidikan, ibuku merestuinya sambil menimpal “kalau ibu jadi investor dapat berape persen?” Sambil tertawa. Bulan itu memang cukup sibuk, karena banyak berkas-berkas dari kampus sekaligus berkas-berkas untuk usaha yang harus kuurus.

Satu waktu, ketika aku pergi ke Gramedia untuk melihat-lihat buku, seorang pegawai menawarkan alat pijat. Seketika aku teringat ibuku, karena memang sejak aku kecil ibu sangat senang jika kakinya dipijat. Keesokan harinya aku menelpon ibuku dan bercerita tentang alat itu, lalu menanyakan apakah ibu mau. Ibu hanya menjawab “boleh lah, nanti lah”.  Namun dua atau tiga hari hari kemudian ketika berbicara lewat telpon, ibuku bertanya soal alat pijat yang kuceritakan tempo hari, “jadi alat pijat ibu? Kapan mau dikirim?”. Ku jawab, “ibu mau? iya tunggu bu, nanti abang belikan”. Aku masih memegang sedikit uang. Rencananya uang terakhirku akan kupakai untuk memperbaiki bagian dinding rumah yang masih merembes, dan di saat yang sama juga sebenarnya aku menginginkan alat pijat itu untuk kupakai di rumah. Setelah selesai berbicara dengan ibuku, aku mengatakan pada istriku, “uangnya dipakai untuk beli alat pijat itu saja ya? Beli 2, satu untuk dipakai di rumah, dan satunya dikirim untuk ibu di Tanjungbatu. Perbaiki rumahnya nanti saja ya, bulan depan. Semoga saja hujan tidak begitu deras beberapa minggu ini.” Dan istriku menyetujuinya.

Sesampainya di Gramedia, kamipun berencana langsung membeli alat tersebut. Dan ternyata uangnya hanya cukup untuk membeli satu alat saja. Harga alat tersebut memang terbilang lumayan, setara gajiku sebulan lebih. “Jadi gimana? Kalaun tidak kita beli dua aja, satu cash dan satu kredit.” Kata Istriku. Namun, setelah kupikir-pikir sepertinya beli satu saja dulu, untuk ibu. Dan kami sepakat.

Setelah membeli alat tersebut kami langsung meluncur ke tempat pengiriman barang, aku meminta paket pengiriman yang agak cepat. Maklum untuk pengiriman ke Tanjungbatu bisa memakan waktu  lebih dari satu minggu. Pegawai mengatakan jika ingin pengiriman cepat, total biaya yang harus kukeluarkan untuk pengiriman sebesar 1 juta, namun ia menyarankan jika aku sebaiknya menggunakan paket regular saja, karena perkiraan estimasi sampainya juga akan sama bila dilihat dari banyaknya tanggal merah di akhir desember, dan dana yang dikeluarkan sekitar 50% dari harga sebelumnya. Aku pun menyetujuinya. Aku tak sabar menunggu alat itu sampai dan melihat respon bahagia ibuku saat mencobanya.

Beberapa hari kemudian aku dan istriku ke Gramedia lagi dan iseng bertanya tentang alat pijat kaki tersebut, istriku menyarankan untuk membeli lagi karena katanya aku terlihat sangat senang ketika mencobanya, dan terus bercerita tentang alat itu sebelum-sebelumnya. “Kredit aja tak masalah, daripada terbawa mimpi.” Katanya. Saat kami sepakat membeli, ternyata alat tersebut sudah habis, barang terakhir baru saja dibeli kemarin. “Wah, memang rejeki untuk ibu.” Kataku.

Seminggu sebelum ibu wafat, aku menelpon ibuku dan tak tahu mengapa aku ingin sekali men-screenshot video call dengan ibu saat itu. Itu Pertama kali aku melakukan, ntah kenapa.  dua hari setelahnya, tidak ada telpon atau pesan dari ibuku. Ayahku yang selalu mengangkat telepon setiap kali aku menelpon ibu. Bahkan ketika aku menelpon di waktu yang berbeda; Pagi, siang, dan malam. Ayah yang selalu menjawab telepon, sembari mengatakan ibu sedang istirahat di kamar. 

Dulu, Ibu pernah di infus, tidak mau makan, bahkan kasur di pindahkan di ruang tengah. Waktu itu aku sedang mengurus untuk CPNSku, ibu menelpon istriku dan meminta untuk merahasiakan keadaannya agar aku tidak khawatir. Setelah aku tahu, aku langsung pulang bersama istriku saat itu juga. Namun 5 hari terakhir itu, ibu masih seperti biasa, masih makan, hanya butuh istirahat, kata ayah. Namun perasaanku gelisah, tepat di hari minggu, tepat satu hari sebelum ibu meninggal—aku masih ingat jelas sekitar pukul 10 malam—aku ingin sekali berbicara dengan ibu. Aku tahu ibu biasanya memang tidak mengangkat jika ditelpon di atas jam 9 karena itu sudah jam istirahat, namun entah kenapa malam itu aku ingin sekali menelpon ibuku. Dan yang menjawab tetap sama; Ayah. Ayah mengatakan bahwa ibu sedang istirahat dan ntah kenapa malam itu aku ngotot ingin melihat ibu, “kasihkan saja hapenya ke ibu yah, atau mana ibu, abang mau lihat ibu. Sebentar saja, tak apa.” Kataku. Ayahku memperlihatkan ibu yang sedang baring menyamping, “Bu, ibu sedang tak sehat?”  hanya beberapa detik lalu ayahku mengatakan biarkan ibu istirahat dulu, ayah juga mau mengunci pintu pagar dan pintu rumah.

Keesokan harinya, tepat di hari pelantikanku di mana aku resmi menjadi dosen PNS di kampus tempat aku mengajar, setelah selesai dari prosesi pelantikan, aku pun berfoto bersama rekan-rekan sejawatku. Aku mengirimkan foto ke ibu, ayah dan istriku, sekitar jam 3 sore. Aku menunggu respon ibu melihat beberapa foto diriku yang kukirimkan kepadanya, sekaligus memberikan kejutan bahwa aku telah mengirimkan alat pijat beberapa hari lalu dan akan sampai sekitar 3 atau 4 hari lagi. Tepat jam 7 malam, aku mendapatkan kabar duka, bahwa ibuku sudah tiada. Ibu bahkan belum sempat membuka dan melihat foto-fotoku, dan aku tak menyangka bahwa beberapa detik malam kemarin adalah hari terakhir aku melihat ibuku. Hal yang kutunggu malah berbalik mengejutkanku, dan memberikan sayatan yang sangat dalam.

Dengan tubuh yang masih gemetar, paginya aku langsung berangkat menuju Tanjungbatu. Total perjalanan menuju ke kampung halamanku yaitu 2 kali transportasi udara, 3 kali transportasi darat dan 2 kali transportasi laut. Alhasil ketika sampai di sana matahari sudah setengah terbenam. Sebelumnya kukatakan kepada ayahku bahwa sepertinya memang tidak terkejar untuk melihat ibu, tidak perlu menunggu aku sampai, tidak apa-apa ibu langsung dikebumikan, kasihan ibu. Benar saja aku baru menginjakkan kaki di Tanjungbatu sore menjelang maghrib. Aku meminta agar aku dan istriku langsung segera dibawa ke tempat ibu.  Aku tak melihat kampung halamanku seperti layaknya aku melihat kampung halamanku dulu. Kampung halamanku menjadi tempat yang asing. Hampa. Hanya seonggok tanah, pohon dan bangunan.

Ketika masuk ke pemakaman, hatiku semakin tak karuan. Aku melihat satu kuburan baru yang di atasnya tertancap payung hitam. Aku tahu disitulah ibuku berada.  Hatiku remuk. Hancur. Seperti ada lubang besar di dadaku. Kakiku gemetar. Keningku tersungkur tepat di atas makam ibu. Aku hanya bisa memeluk dan menciumi bau tanah yang menyelimuti ibu saat itu. Ibu, orang yang menerima apapun keadaanku, bagaimanapun kelakuanku, apapun ceritaku, kini telah pergi. Ibu, tempat aku kembali selama aku di dunia, kini sudah tiada. Aku hanya bisa membaca Kalamullah Sambil meremas dan menciumi tanah yang bercampur airmata. Ini adalah hal yang paling menyakitkan, andai bisa kutukarkan seluruh dunia untuk bersama ibuku walau beberapa menit, pasti kulakukan. Aku menangis sejadi-jadinya. Ini adalah rasa sakit yang pekat dan panjang, rasanya seluruh umurku tak akan cukup mengobatinya. Aku berusaha menolak sesuatu yang tidak bisa aku tolak. Bahwa ibuku telah pergi.

 

Saat ini, aku terus berusaha menutup lubang hitam di dadaku. Aku mengerti bahwa sejatinya ibuku saat ini telah dijaga oleh yang Maha Pengasih. Bahwa ibuku sejatinya milik Allah, begitu pun diriku. Dan kini ia telah kembali ke sebaik-baik tempat kembali. Lahul Fatihah..






-----------------------------------------------------
TENTANG PENULIS
 



Andri Fernanda Pernah mengambil studi S2 Ilmu Sastra di Universitas Gadjah Mada, dan menyelesaikan tesisnya di Monash University, Australia. Merupakan salah satu penerima hibah tesis luar negeri FIB UGM 2016. Saat ini menyibukkan diri sebagai dosen Sastra di salah satu Universitas Negeri, mengelola dan mengawasi Mediatikusastra sambil ngopi, dan tentunya menikmati hidup.





You Might Also Like

0 komentar