Agama dan Sains, Keserasian atau Cocoklogi?

Oktober 02, 2020

Oleh: Hamdika Al Kahfi

(Mahasiswa llmu Tafsir UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
  

 
Image Source: thegreatcourses.com

Agama dan sains bagaikan dua sahabat yang sangat akrab akan tetapi sering berseteru. Masing-masing pihak sering melancarkan "pukulan". Entah jab, hook atau uppercut sangat menarik bagi penonton untuk menyaksikan hingga akhir dan melihat siapa pemenangnya.

Berpuluh-puluh tahun tampaknya tidak pernah mendapatkan hasil "pemenang mutlak" dari perkelahian mereka, karena setiap dekadenya selalu diadakan "tanding ulang" walaupun kelihatannya sains cenderung mendominasi akhir-akhir ini.

Saat agama menang dan sains kalah, sains berkelit, "agama punya otoritas, kami tertindas dan tidak mempunyai fasilitas yang cukup untuk menyusun strategi kemenangan!" Adapun saat sains menang dan agama kalah, agama berkelit, "sejujurnya kami tidak tertarik dengan perkelahian, fokus kami ada pada kehidupan abadi, bukan sekarang ini"

Di tengah keseruan perseteruan mereka selalu ada "orang tua" (bukan jamu khas kegemaran anak muda itu) yang ingin mereka berdamai. Orang tua ini selalu mencoba mencari sisi-sisi persamaan di antara keduanya, sehingga seharusnya agama dan sains bisa saling berdamai dan bergandengan tangan saja.

Orang tua ini sangat gigih (setengah matang—dalam bahasa sunda nasi setengah matang disebut dengan sangu gigih) dalam mendamaikan mereka, berbagai upaya dia lakukan, salah satunya melihat kesamaan kaos (gratisan caleg) yang keduanya selalu kenakan. Menurutnya, "kaos kalian berdua ini sama lho, ngapain harus berantem?"

Keduanya kompak menjawab, "kaos kami memang sama, tapi pakaian dalam kami beda!"

Upaya lain yang dilakukan adalah melihat kecocokan di antara keduanya, misalnya melihat kesamaan letak tahi lalat pada wajah mereka dan menghitung jumlahnya. Alih-alih mendamaikan mereka, upaya tersebut justru jadi bahan olok-olokan kubu sains. "Apa apan ini?! Cocoklogi!" alih-alih kompak dengan sains seperti jawaban sebelumnya, agama dan pengikutnya cenderung fokus pada pertandingan, dan sibuk menyusun pertahanan.

Namanya juga orang tua (pasti ngefly kalo diminum) ada-ada saja tingkah lakunya. Dia pikir menghitung jumlah tahi lalat dari keduanya lalu melihat kesamaan letaknya akan membuktikan keserasian mereka? Kalau tidak disebut sia-sia itu kurang kerjaan namanya.

Cocoklogi macam mereka terkesan selalu memaksakan keserasian, keselarasan, dan keakuratan. Padahal faktanya hanya kesamaan biasa yang jika dicocokkan dengan nomor sepatu Donald trump pun akan terlihat keserasiannya.

Alih-alih mencari argumen lain, para orang tua tampaknya menjadikan cocoklogi mereka sebagai senjata pamungkas, bukti nyata akan keserasian agama dan sains.

Metodologi semacam ini tentunya tidak bisa dijadikan landasan, apalagi bukti akan keserasian agama dan sains. Alih-alih menjadi argumen yang mendamaikan, cocoklogi malah menjadi pemicu panasnya perseteruan.

Salah satu contohnya ialah tafsir telur burung unta. Jelas-jelas bumi itu bulat seperti bola, atau lebih lonjong sedikit, tapi jauh dari bentuk telur burung unta. Tidakkah mereka melihat foto dari NASA?!

Padahal tidak ada satu pun ayat dalam Al-Qur'an yang secara tegas menjelaskan bentuk bumi, entah itu datar atau bulat, yang ada hanya tafsir telur burung unta tadi. Adapun banyak ayat yang menjelaskan mengenai "bumi dihamparkan" itu merupakan penjelasan global yang memang sesuai dengan kenyataan, bukan dalil akan bentuk bumi datar secara tegas.

Masih banyak cocoklogi lainnya yang pada intinya berusaha menguatkan keyakinan para orang tua, bahwa agamanya memang benar, terbukti dengan ditemukannya temuan-temuan sains yang dicocoklogikan tadi.

Hemat saya, tidak usahlah susah payah cari pembenaran di luar agama, apalagi dari sains yang para martirnya cenderung tidak percaya pada Tuhan. Yang namanya kebenaran, tetaplah menjadi kebenaran walaupun tidak seorang pun ada yang membuktikannya, kira-kira begitulah doktrin agama.

Perseteruan agama dan sains tampaknya akan terus berlanjut hinga generasi ke generasi, hingga cucunya cucu kita mempunya cucu, dan cucu mereka mempunyai cucu lagi. Di tengah keduanya akan selalu ada orang tua yang khas pada setiap generasi, dengan argumen andalannya yaitu, cocoklogi.

Saran saya bagi kedua kubu, kalian berdua pada dasarnya adalah sahabat, janganlah saling berseteru, tetapi perkelahian sedikit saja agaknya seru, tapi hanya sedikit jangan banyak-banyak, kalau terlalu banyak energi kita akan habis dengan debat kusir yang tidak ada akhirnya.

Saya agaknya terkesan seperti orang tua, tapi jangan suuzon dulu, saya hanyalah pemuda yang menjunjung tinggi perdamaian dan persatuan (you know lah) yang berharap suatu saat agama dan sains dapat berjalan harmonis, bahu membahu membentuk peradaban yang solid, akan tetapi tidak dipaksakan dengan cocoklogi, biarlah keserasian itu tercipta karena kesadaran dari keduanya.

 
 
----------------------------------------

TENTANG PENULIS




Hamdika Al Kahfi, Mahasiswa IT (Ilmu Tafsir) di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sedikit membaca banyak berpikir, pengen jadi orang sukses tapi males, idealis (biar keliatan kayak mahasiswa kritis bos), optimis, juga realistis.


You Might Also Like

0 komentar