Limbang

Februari 24, 2020





Oleh: Windy Shelia
(Duta Bahasa Babel 2017)
(i)

“Mak aku nak makan ayam.” Terngiang suara si kecil Yusuf yang mungkin sekarang menunggu emaknya pulang sembari bermain mobil-mobilan dari pelepah pisang di amben rumah. Bocah yang senang berceloteh tersebut, wajahnya pasti belepotan pupur sehabis mandi sore. Sudah tentu ayuknya, Fatimah bersusah payah memandikan si bungsu yang sedang senang-senangnya berlari –bentuk selebrasi pada dunia yang sudah halal ditapaki bagi seorang balita.
Minah bergegas membereskan alat tempurnya berupa ember, karpet, dan piring plastik tersebut. Tak lupa sekaleng susu dengan tiga perempatnya terisi pasir hitam diletakkan di dasar ember agar tak tercecer kemana-mana. Ia tebarkan senyum pamit pada perempuan lain yang masih asyik mengobok-obok pasir dan air. Tak lupa lambaian pada segerombol laki-laki dengan pacul dan selang di hulu sakan. 
“Cepatnya Minah?”
“Takut Yusuf menangis di rumah.”
“Ayuknya kan ada.”
“Aih,anak remaja baru terbang klentitnya, lengah sedikit lempus ia ke hutan mencari Karamunting.” Minah berlalu. Diperbaikinya letak terindaknya lalu ia berjalan menenteng  ember dengan menyisaan bisik-bisikan dan tatap-tatapan.
Begitulah kebiasaan ibu-ibu baik tua maupun muda setiap sorenya di Desa Muntabak. Mengumpuli pasir-pasir yang jatuh dari sakan. Berharap barang segenggam pasir legam dengan sedikit manik kecoklatan untuk ditukar dengan beberapa lembar rupiah. Lembar rupiah yang nantinya akan disisipkan ke sarung bantal dan diambil setiap saat dibutuhkan. Lalu, lembar-lembar rupiah itu akan ditukar dengan semen, kayu palang, pasir, dll. Tak ada yang lebih membanggakan dari punya rumah bagus dengan teras luas yang mampu menampung semua sanak keluarga di hari lebaran.
Namun, hal ini tidak berlaku bagi Minah. Bagi Minah, Yusuf adalah permata hati yang harus terus diasah agar suatu hari kilaunya mampu menyinari rumah mereka yang suram. Yusuf akan menjadi juru selamat yang akan memutus mata rantai kemiskinan. Ia akan tumbuh menjadi kaum intelek dengan segudang pengetahuan dan dari gudang tersebut didapatkan beragam siasat untuk mengubah nasib. Bukannya Minah kurang bersyukur, tapi ia terlalu lama bekerja keras. Selepas 40 hari si bungsu lahir, suaminya Nurdin --buruh tambang timah darat-- tertimpa pasir dan menambah daftar warga yang naas karena pasir stannum ini. Oleh karena itu, di bulan ketiga pasca meninggalnya Nurdin, Minah menyingsingkan kain dan kausnya serta berjalan setengah mengangkang ke camui.
    
(iii)
            “Mak aku nak kawin dengan Ko Alian.” Suatu senja si sulung Fatimah bersimpuh di kaki Minah yang sedang duduk sambil mendengarkan dangdut dari radio kesayangannya. Minah diam. Sejujurnya ia tak pernah punya masalah dengan orang Hokian di desanya. Mereka hidup berdampingan dan damai. Bahkan sewaktu anak-anaknya masih bocah, Minah sering mengutang pada mamanya Alian, juragan toko yang letak rumahnya hanya terpisah beberapa rumah. Namun, tetap saja sekali kau lahir sebagai anak suku melayu, maka selamanya kau melayu. Sekali kau lahir muslim maka selamanya kau tetap muslim. 
           Bukan main terguncang keimanan dan hatinya Minah. Berbagai macam peluang melesat ke atap-atap kepalanya. Bagaimana jika nanti cucunya lahir dan memilih iman yang beda dengan neneknya? Bagaimana Minah bisa mendoakan Fatimah bin Nurdin yang nanti akan berganti nama menjadi Atim, Amah, atau Afat? Apakah ia harus ke klenteng dan mengikuti aturan berdoa di sana hanya untuk mengharap keringanan dosa bagi si sulung?
          “Aku tidak menyekolahkanmu hingga SMK hanya untuk menjadi menantu orang Hokian itu.” Minah memandang kosong jauh ke depan melewati kisi jendela. Di balik pohon rambutan rapiah di halaman, Alian mencuri dengar sambil harap-harap cemas perihal Minah akan memberi restu atau tidak.            
           “Mak, maaf.” Bulir-bulir air mulai terbit di kedua bola mata cokelat Fatimah.  Ia menciumi telapak kaki ibunya. Menyisipi lekuk-lekuk surga yang barangkali tak akan ia temui lagi bila jadi menikah dengan si pemuda Hokian. Minah bangkit dari duduknya dan berjalan ke dapur. Jam burung kakaktua berbunyi dengan kedua jarumnya menunjuk angka tiga dan dua belas. Fatimah tahu ibunda yang berbagi dapur dengannya hingga berbelas tahun itu akan mengambil ember dan perkakas lainnya. “Kemana hendak Emak pergi?” Fatimah mencoba berbasa-basi memecah hening yang tercipta sekian menit.
         “Kau akan hidup berkecukupan dengan sembako tak putus di rumah mertuamu nanti.” Minah membawa alat tempurnya dan terus berjalan ke teras. “namun adikmu di ibukota sana masih membutuhkan aku.”
        Senja sore ini beku. Minah terus berjalan menolaki rumahnya. Ia tidak acuh dengan keberadaan Alian, calon menantunya yang tidak sunat itu. Alian mencoba sebisa mungkin tersenyum pada perempuan paruh baya tersebut. Namun, Minah tahu pasti dan sudah mendeklarasi perang blok kiri-kanan mulai sore ini.

(iv)

            “Mak aku nak pulang kampung bulan depan.” Kata Ucup lewat pesawat telepon yang  baru dipasang beberapa bulan lalu
           “Syukurlah nak, emak kangen sama Yusuf, bujang emak, kebanggaan emak.” Binar mata tua Minah terbit di sepasang bola matanya. 
           Yusuf alias ‘anak bujang kebanggaan emak’ beberapa waktu lalu menamatkan sekolah strata 1 nya di fakultas top seantero Indonesia raya. Minah memilih untuk tak datang di acara wisuda anaknya. Sedih memang, tapi potret bahagia itu bisa dipatri dalam bingkai yang tergantung di dinding ruang tamu, bukan? Lebih baik mengalokasi biaya penerbangannya untuk biaya kepulangan si anak bujang yang akan mengabdi pada tanah kelahirannya. 
          
          Selama 5 detik waktu terstilasi dengan kebanggaan Minah pada dirinya sendiri. ‘Lihat dunia, aku ibu yang hebat. Anak yang ku sekolahkan dengan tetes-tetes keringatku akan menjadi orang hebat di pulau ini. Ia akan membangun Muntabak, Bangka, Indonesia, Duni….
          “Mak kenapa diam?” suara di ujung telepon menghentikan detik yang beku dan segala macam wacana yang bergulir di kepala Minah.
             “Aih, tidak apa-apa nak. Mak hanya…”
             “Mak sudah dulu ya. Yusuf harus bersiap-siap mengurus berkas pekerjaan. 
Sudah diminta bos yang di Bangka.”
             “Baik-bak nak, kamu harus jaga kesehatan ya. Emak sayang Yusuf.”
            Tut..tut..tut. Telepon putus.

(v)

         “Mak aku nak berangkat kerja.” Yusuf mengelap sepatu kerjanya. Sebulan belakangan Minah punya rutinitas baru ; menyiapkan kebutuhan seorang lelaki yang ia cintai di pagi hari. Layaknya anak yang terlempar ke kehidupan ibukota selama beberapa bulan, Yusuf pun berperilaku bak anak kota. Ia menjadi suka makan sepiring mie dengan saus tomat, menggerutui ATM yang jaraknya 20KM dari rumah, dan menyindir anak lelaki yang tiap malam bermain gaple di sebelah rumahnya
            “Hati-hati anakku.” Kata Minah dengan semangat menciumi kening Yusuf yang 
akan selalu menjadi bayi besar di matanya.
             “Assalammualaikum.”
             “Wa’alaikumsalam.”
           Hidup ini sangat indah, apalagi yang kita sangsikan? Batin Minah yang dengan wajah riang menyeruput teh hangatnya. Barangkali aku boleh meluangkan dua jam untuk menikmati senti demi senti mentari yang menaiki ufuk. Lalu Minah duduk dalam khidmat dengan mahfum seolah-olah sedang bertasbih pada Tuhan. Matanya pejam dengan sungging senyum merekah. Kursi goyangnya ia ayunkan. Ia masih terus mengheningkan cipta hingga ayunan kursi tersebut kembali pada poros nol alias diam.

                    “Mak, mak Minah ada razia TI !” sayup-sayup teriakan tetangga mendekat dan menembusi sekat dinding. “mak, mak Minah.”                    
            “Mak Minah TI-mu kena razia.” Minah diam.
            “Mak, Mak Minah para aparat keparat itu mulai menuang bensin.”
            “Mak, Mak Minah mereka mulai memantik korek.”
            “Mak, Mak Minah mereka membakar mesin TI yang kau beli dari tabungan berpuluh 
tahun.”
           “Mak, Mak Minah mereka memorak-morandakan kem tempat kau mengaso.”
           “Mak, Mak Minah tampaknya kami kenal siapa yang memberi komando.”
           “Mak, Mak Minah rupanya dia anak kebanggaanmu.”
           “Mak, Mak Minah itukah Yusuf?”
         Minah dalam tidur siang sambil menikmati putaran rol-rol mimpi. Yusuf anakku sebulan kerja di Dinas Kehutanan hari ini naik pangkat, gumamnya dalam buai.
  
(ii) 

          “Mak aku nak kuliah ambil ilmu sosial.” Kata Fatimah suatu pagi.
          “Tak perlu anak puan sekolah tinggi apalagi ambil ilmu yang tak bisa kasih makan.”
          “Mak aku nak kuliah ambil ilmu kedokteran, ekonomi, atau kehutanan.” Sahut Yusuf
sembari menenteng ijazah yang baru ia dapat pagi ini. 
          “Dengan senang hati bujangku. Mari kita urus pendaftarannya.”


----------------------------------------------------------------------------


(Limbang) Aktivitas menambang timah yang jatuh dari tempat pencucian biasanya timah yang didapat kualitasnya lebih rendah daripada timah yang tidak jatuh
(Nak) Mau, hendak
(Pupur) Bedak
(Ayuk) Panggilan kepada kakak perempuan
(Sakan) Tempat pencucian pasir tima
(Terindak) Topi khas Bangka yang digunakan saat bekerja
(Lempus) Pergi
(Camui) Lokasi penambangan timah
(Bujang) Panggilan kepada anak laki-laki
(Kem) Pondok di sekitar lokasi penambangan




BIODATA PENULIS 
            

Windy
Windy Shelia atau yang juga dikenal dengan Windy Azhar ialah seorang mahasiswa Sastra di Universitas Bangka Belitung. Perempuan berusia 21 tahun ini senang menulis karya sastra dan tampil dalam pentas teater. Ia juga aktif di beberapa kegiatan di bidang literasi dan gerakan perempuan. Saat ini ia bermukim di Selindung, Pangkalpinang.
 

You Might Also Like

0 komentar