Linca

Februari 26, 2020





Oleh: Windy Shelia
(Duta Bahasa Babel 2017)

 

Pagi ini, saat mandi shubuh-shubuh saya melihat lintah di lantai kamar mandi. Saya tidak tahu apakah itu lintah atau cacing hitam kepala lancip. Aih panjangnya frasa hanya untuk menamai objek yang hidup di keramik lembab toilet. Sebutlah ia Linca alias Lintah Cacing, di zaman postmodern ini orang-orang suka yang praktis dan tidak memusingkan. Linca itu muncul dari sela-sela retakan keramik, halus ia menggelayut melawan guyuran air yang saya siramkan. Awal melihatnya saya panik bukan kepalang. Habis setengah kola air di bak hanya untuk menyiram Linca-Linca sialan itu. Tapi semakin saya siram, semakin Linca-Linca, yang jumlahnya sekitar 5 ekor, itu tak gentar. Mereka terhuyung-huyung mengikuti irama guyuran air, lalu saat air tandas masuk ke lubang pembuangan, mereka menempel seperti minta dikeloni lantai. Saya sedikit geram, tapi ah sudahlah bahkan matahari belum timbul tidak eloklah uring-uringan di shubuh hari apalagi oposisi relasi kegeraman saya hanya 5 ekor Linca. Saya lanjutkan mandi sambil melipir menjaga jarak dari para koloni Linca.

“Hei Linca A coba kamu perhatikan manusia itu, lucu sekali mukanya.” Ucap Linca B sambil terkekeh.

“Ku pastikan ia kesal. Sebab jika sampai suaminya lihat kita-kita bersemayam di kamar ukuran 2x1,5 meter ini, ia akan di cap pemalas.” Guyonan Linca A membuat Linca B,C,D, dan E terpingkal-pingkal.

“Hei, hei ia mendelik ke arah kita.” Seru Linca E.

Jujur saya sedang melamunkan Kus, suamiku yang sebulan belum pulang-pulang. Lalu aku menoleh ke arah Linca-Linca. Apakah dalam kingdom zoology mereka mengenal sakit hati? Apakah mereka mengenal kata rindu? Apakah suami-suami mereka akan selalu setia di luar sana ? apakah mencari nafkah menjadi alasan pejantan memisahkan diri dari koloni ? lama ku pandangi linca-linca yang senang main air itu. Apakah mereka sadar saya dengan tololnya menghabiskan 5 menit untuk mencoba beretorika dengan mereka?

“Goblok. Dia mencoba berkomunikasi dengan kita.” Seru Linca D.

“Hei Linca D, kamu masih kecil baru netas dari kokon. Mana kamu tahu kegundahan hati manusia itu. Bahkan dia lupa kalau kita hermafrodit, akibat permasalahan yang kompleks, dia terlalu ‘memanusiakan’ kita. Coba dulu dia belajar biologi sungguh-sungguh taulah dia tidak ada sistem jantan betina di dunia kita. Bener juga ya kamu, manusia ini goblok.” Seru Linca C yang memang Linca paling senior di kawanan itu.

Setelah lima menit tergoblok saya habiskan untuk mengamati para Linca, saya putuskan menyudahi mandi pagi ini dan mengelap tubuh dengan handuk. Sembari mengeringkan tubuh, saya pandangi lekat-lekat refleksi tubuh di cermin. Kakiku belalang, kulit kuning langsat, lesung pipi di kanan kiri, harusnya dulu saya ikut tes pramugari, mengikuti coretan-coretan yang sering saya isi di kolom cita-cita kuisioner biodata. Lihat saya sekarang. Cuma ibu-ibu beranak tiga dengan daster sebagai seragam wajib. Dengan tanda-tanda lebam bekas melahirkan di sekitar perut dan guratan varises akibat mengejan anak terakhir dengan posisi yang salah. Tiba-tiba saya sedih melihat sosok upik abu malang di seberang cermin.

“Hei, hei lihat dia mulai menangis.” Seru Linca A.

“ssstttt.” Serentak Linca B,C,D, dan E menginstruksikan Linca A diam.

Dan sosok Saya mulai menangis sedu sedan. Saya ingat hari dimana saya ditelepon untuk wawancara tes pramugari datang berbarengan dengan hari lamaran Kus. Kus dengan kemeja perlente dan rambut licin tersisir rapi berjanji akan membuat saya hidup bahagia, lebih bahagia daripada hidup jadi pramugrari. Saya menurut saja. Gugur kesempatan wawancara dengan HRD maskapai ternama diganti dengan berpuluh-puluh hantaran mulai dari sepatu, tas, riasan wajah, pakaian dalam, bahkan uang datang ke rumah.

Saya bukannya istri yang tidak baik. Sebisa mungkin saya menganggap Kus bagai pilot di bahtera rumah kami seperti saya mengabdi bila saja saya seorang awak kabin. Ibu Kus kepingin punya cucu, saya kasih tiga. Kus ingin keluarga kami hidup hemat, saya berhenti pakai bedak sejak dua tahun lalu. Anak-anak mau makan pizza, saya akali dengan pizza-pizza an dari mie instan. Hidup saya sungguh baik dan saya ikhlas.

“Hei dia menyebut kata ikhlas.” Protes Linca B.

Baik saya ralat, mungkin saya kurang ikhlas. Saya merasa jengkel saja kalau Kus protes hari ini kami cuma makan tempe. Padahal jatah belanja per hari tak lebih dari 20 ribu. Beras sekilo 13 ribu, mau makan apa dengan sisa uang 7 ribu kalau bukan tempe sepapan. Saya merasa jengkel kalau si bungsu mulai menangis merengek minta susu. Lalu Kus menggendong si kecil dan menyalahkan saya ibu tidak becus dengan nada pedas. Saya jengkel Kus minta kami mengencangkan ikat pinggang. Sementara setengah gajinya habis di meja judi. Saya jengkel dengan diri saya sendiri yang cuma bisa diam dan tak dapat membantu perekonomian keluarga. Saya cuma modal ijazah SMA, penampilan tak semenarik dulu, mana mampu  bersaing dengan fresh graduate bergincu merah di pasar kerja.

-Semua Linca diam.   

Oh ya saya ralat saya melamunkan Kus bukan karena rindu, kangen atau kosakata roman picisan lainnya. Saya kesal uang untuk biaya keluarga mulai menipis sementara Kus belum kasih kabar apalagi pulang. Saya kesal dengar kabar yang berembus entah darimana bilang Kus cari madu di kota. Saya kesal tiap ngutang di warung Bu Popon, para ibu-ibu menatap saya seperti mergok kucing maling ikan asin. Saya jengkel, saya resah, saya jengah.

-Para Linca masih diam.

Saya terisak-isak hebat. Lalu saya pandangi lagi kawanan Linca yang tergolek di lantai yang basah bersama helai-helai rambut saya yang rontok. Lama saya tertegun. Kali ini saya habiskan 6x 5 menit untuk menatap para Linca. Dan saya rasa kali ini lamunan saya tidak goblok.

----

DIJUAL MINYAK LINCA TOP BERKHASIAT. UNTUK KEHARMONISAN RUMAH TANGGA.


Saya sedang sibuk-sibuknya melayani pelanggan yang membludak dari jam 9 tadi, waktu toko buka. Sudah dua bulan usaha ini saya geluti. Dari pintu ke pintu, hingga membuka kios kecil di tepian pasar. Untungnya jangan ditanya. Si kecil bisa sesuka hati memilih merk susu mana yang paling ia suka. Anak-anak tidak makan pizza-pizza an lagi tapi pizza sungguhan. Dan saya sudah pakai bedak. Semuanya aman terkendali.

Saat saya sedang melayani para pelanggan yang sampai antri, saya melihat sosok itu, kurus, ceking, rambut basah tersisir seperti biasanya. Saat tiba gilirannya maju ke loket depan menghadap saya, dia agak terkejut dan melonggarkan gandengan tangannya pada gadis muda yang masih belasan tahun. Saya menyunggingkan senyum.

“Hai Kus, istrimu cantik.”






BIODATA PENULIS 
            

Windy
Windy Shelia atau yang juga dikenal dengan Windy Azhar ialah seorang mahasiswa Sastra di Universitas Bangka Belitung. Perempuan berusia 21 tahun ini senang menulis karya sastra dan tampil dalam pentas teater. Ia juga aktif di beberapa kegiatan di bidang literasi dan gerakan perempuan. Saat ini ia bermukim di Selindung, Pangkalpinang.

You Might Also Like

0 komentar