“KETIDAKADILAN GENDER : POLITIK DAN TENAGA KERJA WANITA (TKW) INDONESIA”

Agustus 27, 2021

  Oleh: Isneni Neka Indriyani

(Mahasiswi Ilmu Politik FISIP Universitas Bangka Belitung)
 
 
Image Source: businessworld.in
 

Persoalan gender bukan lagi sebuah persoalan biasa. Di dalam lingkungan masyarakat, gender sering diartikan dengan pemaknaan terhadap jenis kelamin. Secara garis besar, teori gender dapat dikelompokkan ke dalam dua aliran, yaitu aliran nature dan aliran nurture. Dalam aliran nature bahwa perbedaan peran laki-laki dan perempuan adalah bersifat kodrati. Sementara aliran nurture menjelaskan bahwa, perbedaan relasi gender antara laki- laki dan perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis, akan tetapi hasil dari konstruksi masyarakat. Maka berdasarkan kondisi sosial dan konstruksi sosial dari masyarakat tersebut, terjadilah ketidakadilan gender. Menurut Fakih (2013: 13), ketidakadilan gender termanifestasikan dalam beberapa bentuk, yaitu: marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak penting dalam keputusan politik), pelabelan negatif (stereotype), kekerasan (violence), serta beban kerja yang lebih panjang dan lebih banyak. Kelima bentuk ketidakadilan gender tersebutlah yang membuat kaum perempuan menjadi sosok yang terpinggirkan di kalangan sosial. Salah satu permasalahan gender yang saat ini terus menerus berkembang adalah mengenai kekerasan terhadap perempuan (Fujiati, Danik.2014.Relasi Gender Dalam Institusi Keluarga Dalam Pandangan Teori Sosial Dan Feminis.Jurnal Muwazah.6(1).32-54.)

Dalam memenuhi kebutuhan perekonomian, perempuan memilih untuk bekerja ekstra. Dalam kasusnya di Indonesia, tidak sedikit perempuan melakukan migrasi ke luar negeri dengan tujuan untuk bekerja yang dalam hal ini dapat disebut sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Fenomena TKW ini sudah sejak lama diperbincangkan yang kemudian salah satunya adalah terjadi feminisasi tenaga kerja, yaitu jumlah migran perempuan lebih besar dibandingkan dengan jumlah migran laki-laki (Sukamdi, 2004; Hugo, 2004; Wee and Sim, 2004). Feminisasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri terjadi sejak awal tahun 80-an. Hal ini menunjukkan bahwa sejak saat itu  jumlah  migran  perempuan  lebih  tinggi  dibandingkan laki-laki dan selalu ada kenaikan tiap tahunnya. Menurut Hugo (2004), hal ini


tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan sudah menjadi fenomena umum di Asia Tenggara selama lima puluh tahun terakhir (Kumalasai, Luluk Dwi.2011. Keharmonisan Keluarga Tkw Dalam Perspektif Gender (Studi Di Donomulyo Malang).Jurnal Humanity.6(2).106-115.)

Perempuan yang memilih bekerja di luar negeri sebagai TKW biasanya sebagian besar melakukan perjalanan tersebut dengan sendirian, dalam arti tanpa didampingi oleh siapa pun. Tingginya angka TKW di setiap tahunnya banyak memunculkan berbagai pertanyaan, diantaranya apakah migrasi tersebut membawa keberuntungan atau dampak positif setelah menjadi seorang TKW? Atau bahkan sebaliknya bahwa para TKW mendapatkan perlakuan yang tidak wajar, yang dalam hal ini berupa penyiksaan atau kekerasan semacamnya. Banyak kasus yang dialami oleh TKW Indonesia dan merupakan hal yang sangat serius untuk ditangani. TKW Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagian besar menjadi objek pemerasan atau semacamnya, baik itu mereka yang bekerja melalui jalur resmi atau pun jalur ilegal. Contoh kasus pertama yaitu atas nama Sutini Tri Hefisi yang berasal dari Banjarnegara yang bekerja di Singapura sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Dalam hal ini, Sutini dijadikan sebagai objek untuk perdagangan manusia (human trafficking). Sutini mendapatkan perlakuan yang buruk dari majikannya, diantaranya tidak boleh berkomunikasi dengan keluarga, dilarang bermain ponsel, dikurung di dalam gudang, dan sebagainya. Selain hal itu, Sutini tidak mendapatkan gaji yang sesuai berdasarkan pekerjaan yang telah dilakukannya. Dan setelah kembali ke Indonesia, Sutini jatuh sakit dan sampai pada akhirnya meninggal dunia (liputan6.com.2018. Buku Harian TKI Sutini Ungkap Kekejian Majikan di Singapura.Diakses pada 18 Desember 2020.).

Kasus lainnya yang menimpa TKW Indonesia adalah Sihatul Alfiah warga Desa Plampangrejo, Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur yang bekerja di Taiwan. Ia mendapatkan perlakuan yang buruk oleh majikannya, diantaranya mengalami penyiksaan. Berdasarkan kontrak yang telah disepakati kedua belah pihak, Sihatul dipekerjakan sebagai perawat orang tua. Namun kenyataannya ia dipekerjakan sebagai seorang pemerah dan pembersih kandang sapi. Tidak hanya itu, Sihatul juga diharuskan untuk tinggal dan makan di kandang sapi (liputan6.com.2014.TKI di Taiwan Disiksa, Tinggal dan Makan di Kandang Sapi.Diakses 18 Desember 2020.). Kasus ketiga adalah TKW Indonesia yang diperbudak dan disiksa oleh majikannya di Malaysia. Korban dikabarkan tidak mendapatkan gaji selama periode ia bekerja, namun dipaksa untuk bekerja setiap hari. Akibat dari penyiksaan tersebut, telinga korban hampir putus (suara.com.2020.Diperbudan dan Disiksa 3 Majikan di Malaysia, Telinga TKI Hampir Putus.Diakses pada 18 Desember 2020.).


Berdasarkan beberapa kasus yang dipaparkan, perempuan memang sangat sering dijadikan objek ketidakadilan gender dan salah satunya adalah kekerasan. Dalam kaitannya dengan politik, pemerintah telah berusaha melakukan perlindungan kepada para TKI yang bekerja di luar negeri dengan terbentuknya perundang-undangan. Dalam konteks perundang- undangan, hanya ada 10 pasal Undang-undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang dapat dijadikan sebagai acuan atau landasan hukum perlindungan TKI di luar negeri. Namun hal tersebut diakui bahwa perlindungan para pekerja di luar negeri bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Kemudian bukan hanya persoalan mengenai hukum saja, ada persoalan lain yang menjadi faktor penyebab. Diantaranya ada beberapa pihak yang memang berusaha melakukan pemalsuan dokumen identitas dari calon TKI/TKW agar dapat bekerja di luar negeri, padahal kenyataannya TKI tersebut masih di bawah umur (tempo.co.2012.Pemerintah Akui Perlindungan TKI Masih Lemah.Diakses pada 18 Desember 2020.).

Jika dilihat dari situasi dan kondisi di atas, ada baiknya jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan kerja sama agar melakukan pengawasan secara ketat agar tidak terjadi hal- hall yang tidak diinginkan. Dalam hal ini, peran dari para aparatur sangat dibutuhkan. Sering kali terjadi kasus suap untuk melegalkan calon TKI/TKW kepada para aparatur pelaksana. Jadi sangat penting pula birokrasi ini agar dapat berjalan dengan baik sebaimana mestinya. Calon pekerja dibawah umur mestinya tidak melakukan perjalanan untuk bekerja di luar negeri dan para birokrat agar menolak setiap suap yang diberikan, walaupun hal itu sangat sulit untuk dihindari. Persoalan ketidakadilan gender termasuk kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu persoalan yang sangat serius. Oleh karena itu selain perempuan yang berjuang, pihak pemerintah dan non pemerintah juga diharapkan dapat ikut memperjuangkan kesetaraan gender secara bersama-sama.

You Might Also Like

0 komentar