Nurani Rumput Liar

Desember 17, 2020

 


Oleh: Dhimas Muhammad Yasin
(Penulis Buku)

Mungkin sudah keseribu, bahkan kesejuta kalinya aku diinjak-injak oleh kaki-kaki itu. Andai kata aku punya mulut, pasti kumaki-maki para penyerang itu. Andai kata aku punya tangan dan kaki, pasti kujegal jatuh para gelandang itu. Andai kata aku punya hati, pasti kubuat sakit hati para bek dan kiper itu.

Apa boleh buat. Kenyataannya aku terlahir di dunia ini tanpa dibekali itu semua. Dalam ingatan terakhirku, pertama kali kutemukan diriku dalam wujud sesuatu yang sering mereka sebut benih. Lalu, benih ini berkembang menjadi apa yang sering mereka sebut akar. Kemudian, akar ini berkembang menjadi sesuatu yang sering mereka sebut daun. Hingga daun ini berkembang menjadi sesuatu yang sering mereka sebut rumput.

Jadi, namaku adalah benih, akar, daun, atau rumput? Dalam kebingungan itu, mereka menyebutku benih siang-malam dalam hitungan belas, menyebutku akar dalam hitungan puluh, menyebutku daun dalam hitungan ratus, dan menyebutku rumput dalam hitungan ribu, bahkan tak terhitung. Hingga dalam periode yang tak menentu aku berkeyakinan penuh bahwa diriku ini bernama rumput.

Sungguh aneh memang. Aku tidak punya mata, tetapi dapat menyaksikan. Aku tidak punya telinga, tetapi dapat mendengarkan. Aku tidak punya hidung, tetapi dapat mencium. Bahkan, aku tidak punya lidah, tetapi dapat merasakan. Barangkali mataku, telingaku, hidungku, dan lidahku tidaklah sama dengan apa yang dimiliki oleh sesuatu yang sering mereka sebut hewan dan manusia.

Buktinya aku yang awalnya buta akal ini akhirnya dapat mengenal makhluk yang sering mereka sebut bola. Ke mana pun makhluk itu menggelinding, para manusia yang mereka sebut pemain ramai-ramai berkejaran dan memperebutkannya. Anehnya, setelah makhluk itu berhasil diperoleh, cepat-cepat dioper ke arah manusia lain, bahkan dibuang jauh-jauh dengan tendangan kaki ataupun lemparan tangannya.

Lalu, aku yang awalnya buta bahasa ini akhirnya dapat mengenal makhluk yang sering mereka sebut gawang. Kalau bola sudah mendekati gawang, rasa-rasanya seluruh pemain di lapangan mendadak sangat ribut. Terlebih lagi kalau bola itu berhasil memasuki gawang mereka. Berbagai teriakan dan tingkah laku aneh para pemain penendang bola itu pun bergoyang-goyang kegirangan dan disambut oleh para manusia lainnya di luar lapangan.

Kemudian, aku yang awalnya buta aksara ini akhirnya dapat mengenal makhluk yang sering mereka sebut sepatu. Kalau makhluk itu sudah mendekatiku, rasa-rasanya sekujur tubuhku dihunjam olehnya dengan ketebalan kulit yang berat dan berlapis-lapis. Terlebih lagi kalau kaki-kaki mereka terpeleset oleh sekujur daunku yang sedang membasah. Sejumlah gerakan berupa jejak kaki dan kata-kata bernada amarah pun terlampiaskan kepadaku.

Bahkan, aku yang awalnya buta waktu ini akhirnya dapat mengenal sesuatu yang sering mereka sebut pagi, siang, sore, dan malam. Kalau pagi telah tiba, mereka biasa berkata, “Selamat pagi, anak-anak!” Kalau siang telah tiba, mereka biasa berkata, “Aduh, panas sekali cuaca di siang ini!” Kalau sore telah tiba, mereka biasa berkata, “Sudah sore! Ayo, segera kita mulai pertandingan bolanya!” Kalau malam telah tiba, mereka biasa berkata, “Pada malam ini kita akan latihan jurus baru!”

Belum lagi kalau para manusia yang mereka sebut anak sekolah ramai berdatangan kemari. Ada yang memandangiku sambil membawa makhluk yang sering mereka sebut buku tulis. Ada yang tangannya membawa makhluk yang sering mereka sebut gadget dan mendekatkannya padaku. Ada yang bagian tubuh belakangnya ditindihkan padaku dan menyebutnya ramai-ramai sebagai duduk-duduk. Ada pula yang tangannya jahil mencabuti setiap sisi daun dan menyebutku sebagai parasit.

Kalau tiba siang hari, datanglah seorang manusia dengan menggiring kumpulan makhluk lain yang bukan merupakan jenisnya. Bentuk kakinya lebih kecil dan jumlah sepatunya lebih banyak. Aku tidak mengerti para manusia menyebut mereka sebagai apa. Apalagi manusia yang satu ini tipe pendiam dan jarang berkomunikasi dengan mereka. Hanya saja ketika mendekatiku, mereka biasa mencabuti setiap helai daunku dengan mulutnya yang bergigi dan mengunyahnya perlahan-lahan. Bahkan, komunikasi yang terjalin antarmereka pun selalu dengan bunyi bahasa yang sama. Hingga akhirnya aku berkeyakinan penuh bahwa mereka adalah makhluk yang bernama embik.

Kadangkala embik-embik ini selalu mengeluarkan suatu makhluk dari tubuh bagian belakangnya. Makhluk itu berbentuk bulat seperti bola, tetapi ini jauh lebih kecil dan dalam jumlah yang sangat banyak. Warnanya jauh lebih gelap dan terasa sangat lekat ketika berjatuhan menimpaku. Kalau sudah beberapa lama, bola-bola itu menyatu dengan tanah lalu menggemburkan akarku. Entah kandungan apa yang menarik di dalamnya. Namun, yang jelas aku merasa seperti bertenaga dan aku mampu memproduksi berbagai hormon hingga daunku tumbuh lebat, akarku makin kuat, dan warnaku segar berkilauan.

Ada lagi makhluk lain yang mengunjungiku. Bukan berasal dari golongan manusia dan bukan berasal dari golongan embik. Makhluk ini jauh lebih kecil daripada kedua golongan makhluk tadi. Apalagi tidak ada seorang manusia pun yang pernah menyertai dan membincangkannya. Hanya saja ketika mendekatiku, mereka mencabuti setiap helai daunku dengan mulutnya yang runcing dan menelannya. Tutur katanya terlalu samar sehingga aku sama sekali tidak dapat menangkap bunyi bahasanya. Mungkin hanya suara “kukuruyuk” saja yang dapat kupahami sekarang. Hingga pada suatu masa yang dirundung dalam kepastian, aku menamakannya demikian.

Kalau tiba malam hari, terdengarlah sejenis suara yang selalu dalam bunyi dan jarak waktu yang sama. Makhluk ini jauh lebih kecil daripada makhluk manusia, embik, bahkan kukuruyuk sekalipun. Apalagi makhluk ini selalu bersemayam di dalam lebatnya daunku. Kali ini ia tidak menginjakku atau mencabutiku, tetapi hanya sekadar singgah di tempatku. Sesekali ia mengacak-acak tanah yang ada di sekitarku. Dari bunyi bahasanya yang konstan, aku sudah sangat yakin bahwa ia adalah makhluk yang bernama “krik”.

 
Kalau sudah malam berlalu lama, krik-krik ini akan terdiam dan pergi meninggalkanku. Biasanya setelah itu, para manusia berdatangan lagi, tetapi dalam jumlah yang lebih besar. Kali ini mereka tidak membawa bola dan pakaian mereka semuanya serba gelap. Tidak seperti para pemain bola yang selalu bebas berkeliaran. Para pemain ini cenderung menetap di tempatnya masing-masing dalam waktu yang cukup lama. Kalau pun bergerak, mereka tidak sampai berpindah jauh dari tempat pertama kali kakinya berpijak. Mereka bergoyang-goyang melakukan gerakan yang juga teratur bunyi bahasa dan jarak waktunya.

Tampak pula beberapa orang yang terpisah dari barisan itu memberikan aba-aba kepada para pemain lain. Semuanya kompak mengikuti setiap alunan gerakannya. Sering sekali terucap kosakata “jurus” dengan suara teriakan sebagai pengiringnya. Dari situlah aku berkeyakinan penuh bahwa mereka sedang melakukan permainan yang bernama “jurus”. Suaranya meraung-raung, seperti sebuah lampu yang terpasang di atap sebuah makhluk yang biasa mereka sebut dengan mobil. Makhluk ini pernah melindasku hingga meninggalkan bekas jejak kaki bergigi di sekujur tubuhku. Namun, aku tidak tahu harus menyebut lampu itu sebagai apa. Entahlah!

Ada lagi makhluk yang meskipun sangat jarang mendatangiku, tetapi kehadirannya selalu merusak sekujur tubuhku. Kali ini seorang manusia dengan membawa semacam makhluk asing lagi yang belum pernah kuketahui. Makhluk ini mengeluarkan bunyi yang sangat nyaring. Saat makhluk itu beraksi, maka sesuatu menyerupai bola kecil dan tajam dari bagian tubuhnya tiba-tiba berputar kencang hingga mencabuti setiap sisi daun, bahkan akarku tanpa henti. Makhluk itu sangat buas hingga membuat daunku gundul, akarku tumbang, dan warnaku pudar. Betapa nyaring bunyi bahasanya hingga aku tidak mengerti makhluk macam apa lagi yang manusia datangkan kali ini.

Manusia memang makhluk yang sangat istimewa. Mereka punya hak asasi untuk bergerak ke mana saja, berteman dengan siapa saja, bahkan mengendalikan setiap makhluk yang dibawanya. Mungkin karena itulah, mereka tidak pernah memberikan perlakuan baik kepadaku. Dan aku sangat berharap semoga mereka semua bukanlah sumber dari segala sumber kelahiranku di tempat ini.

Beruntung, aku juga tidak sendirian. Aku masih bersatu teguh dengan teman-temanku. Mereka pun tidak jauh bernasib serupa denganku. Dalam segala keterbatasan, aku masih berkomunikasi dengan gaya bahasa atau gerak-gerik yang sudah menjadi konsensus bagi spesies semacam kami. Mulai dari warna daun, liuk daun, helai daun, hingga serabut akar yang telah menjadi sistem lambang komunikasi kami. Setidaknya kami masih punya kuasa untuk bertahan hidup.

 

Bahkan, kami sudah lama bekerja sama dengan makhluk lain yang makin tidak jelas bentuk tubuh, bunyi bahasa, dan gerak-geriknya. Adalah kedua makhluk yang selalu membantu proses tumbuh kembang kami; makhluk satu selalu mengirim sesuatu yang berguna untuk mencukupi kebutuhan hidup kami; makhluk satunya selalu membantu mengolah sesuatu itu hingga menjadi sumber energi kehidupan kami.                                                                                                                                                                                                  

Gumpang, 16 Desember 2020.



---------------------------------------------------------
TENTANG PENULIS



Lahir dengan nama lengkap Dhimas Muhammad Yasin. Menulis sejumlah buku sekolah, karya ilmiah, esai, puisi, cerpen, dan novel. Memperoleh sejumlah penghargaan dalam lomba menulis tingkat nasional dan internasional. Buku puisinya berjudul “Rayuan Amplop Putih” (Guepedia Publisher, 2019). Buku cerpennya berjudul “Dalam Ruang Gerhana” (Guepedia Publisher, 2019). Buku novelnya berjudul “Warsa: A Cheerful Boy” (Kindle Amazon, 2020). Kegiatan sehari-harinya bergumul dengan buku-buku pelajaran sekolah untuk SD/MI. Penulis bermukim di daerah Gumpang, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah. Penulis dapat dihubungi lewat FB: Dhimas Muh Yasin; IG: @dhimas.yasin; Twitter: @dhimasyasin

You Might Also Like

0 komentar