Ragam Konsep Baik dan Buruk di Balik Fenomena Kaum Elit

Oktober 19, 2020

Oleh: Hamdika Al Kahfi

(Mahasiswa llmu Tafsir UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
  

 
Image Source: penulis

"Stop Making Stupid People Famous"

Saya rasa kutipan di atas telah dimonopoli oleh segelintir elit yang menganggap "mindset" atau "selera" mereka adalah yang paling pas, cocok atau bermanfaat untuk dunia yang dinamis ini.

Tulisan ini hanyalah ekspresi kegelisahan saya saat melihat realitas (di medsos) yang menampilkan beberapa "artis" dengan segudang kepintarannya berperan bak seorang "nabi" yang membimbing umat manusia kepada kehidupan yang lebih baik (menurut mereka).

Sebelumnya artis-artis ini tidak terlalu mencuat ke permukaan, pandangan mereka terisolasi dalam sebuah ruang diskusi yang tak begitu luas, sehingga "ajaran-ajaran" mereka belum diketahui banyak orang. Hingga beberapa bulan yang lalu kita melihat sosok idaman, idola dan panutan kawula muda, artis yang selama ini terisolasi kini meroket (sambil berusaha membayangkan gestur pak jokowi saat menjajikan ekonomi meroket di bawah kepemimpinannya) ke angkasa lalu menyebarluaskan ajaran tentang ke"anjay"annya.

Saya menyebut mereka dan fenomena yang dibawanya dengan Kaum "elit". Kenapa saya menyebutnya demikian? Ya suka-suka saya, kalian mau terima atau tidak terserah.

Abaikan julukan yang saya berikan, konsep tentang baik dan buruk tampaknya pas untuk dibahas saat ini, di tengah para elit yang kian memonopoli "kebaikan", atau lebih tepatnya memonopoli "pendidikan".

Definisi baik/buruk agaknya tidak perlu dibahas panjang lebar di sini, karena saat kita membaca/mendengar kata "baik/buruk" akan langsung kita pahami makna dan konsepnya. Setiap orang bisa menjelaskan panjang lebar pengertian baik/buruk yang diyakininya. Jika ingin mengetahui pendapat para ahli tinggal googling saja.

Membahas baik buruk sejatinya tidak semudah memperdebatkannya. Baik dan buruk dalam ilmu pengetahuan masuk dalam ranah etika yang dipayungi filsafat. Saya mencoba menjelaskan sekilas dari beberapa pandangan tentang apa yang dimaksud baik dan buruk dalam etika.

Sebagian orang menganggap ukuran baik dan buruk adalah apa yang sesuai dengan adat istiadat, kita bisa jumpai berbagai etika yang berbeda antara berbagai adat dan suku yang ada di indonesia.

Ada pula yang mengukur baik dan buruk dengan kenikmatan. Aliran hedonisme meyakini bahwa semakin banyak kita mendapatkan kenikmatan dan jauh dari penderitaan maka itulah yang dimaksud dengan kebaikan begitu pun sebaliknya, semakin menderita semakin buruk.

Hedonisme sendiri ada yang mengutamakan kenikmatan individu (egoistic hedonism), epicurus lah tokohnya. Dengan kata lain usaha terbaik manusia adalah mendapatkan kenikmatan sebanyak-banyaknya bagi diri sendiri sekalipun harus mengorbankan orang lain.

Selain itu ada pula universalistic hedonism yang mempertimbangkan orang lain dalam meraih kenikmatan, bahkan bukan hanya manusia, binatang dan tumbuhan pun jadi perhatian mereka. Artinya semakin kita berusaha memperjuangkan kenikmatan seluruh makhluk semakin bernilai baik diri kita.

Sebagian orang meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan batin sebagai suatu instrumen yang dapat membedakan perbuatan yang baik dan buruk dengan sekilas pandang. Aliran ini disebut intuisisme. Menurut mereka kita bisa mengetahui baik dan buruk seperti kita mengetahui perbedaan gelap dan terang. Sekilas pandang kita bisa menilai mana yang terang dan mana yang gelap, begitu pun dalam mengetahui kebaikan dan keburukan.

Menurut Poedjawijatna, aliran ini berpandangan bahwa sesuatu yang baik adalah yang sesuai dengan kodrat manusia, yaitu kodrat kemanusiaannya yang cenderung kepada kebaikan. Ketetapan terhadap baik dan buruknya suatu tindakan yang nyata adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati atau hati nurani orang yang berbuat. Pada perkembangannya aliran ini disebut dengan humanisme.




Ada pula utilitarianisme yang menekankan kemanfaatan dalam menilai baik dan buruk. Dengan kata lain semakin bermanfaat yang kita lakukan, semakin baik. Akan tetapi manfaat yang dipandang dalam aliran ini bersifat materi. Sehingga mereka menganggap orang tua renta yang tidak bisa bekerja tidak bermanfaat sama sekali. Selain itu paham ini juga dapat melakukan atau menggunakan apa saja yang dianggap berguna sepanjang memberikan manfaat, contohnya "politik uang" yang akan kita jumpai jelang pilkada mendatang (Oopss..).

Sempat pula berkembang Vitalisme. Aliran yang memahami kebaikan itu sebagai suatu kekuatan dalam diri manusia. Aliran ini berpendapat bahwa baik itu adalah kekuatan untuk menaklukkan orang lain yang lemah. Nampaknya paham ini lebih menyerupai hukum rimba, siapa yang kuat maka dialah yang menang, dan yang menang itulah dianggap baik.

Aliran ini banyak dipraktekkan oleh para penguasa feodalistis zaman dahulu. Sehingga muncullah kekuatan-kekuatan politik yang dikenal seperti feodalisme, kolonialisme, diktator dan tirani.

Jika kita mengenal teori evolusi dalam bidang biologi, ternyata teori evolusi juga ada dalam ranah etika. Menurut Alexander, nilai moral juga mengalami kompetisi dengan nilai-nilai lainnya seperti halnya dalam biologi. Nilai moral yang dapat bertahan itulah nilai yang baik, sedangkan nilai moral yang tidak dapat bertahan akan musnah dan dianggap buruk.

Herbert Spencer mengatakan bahwa konsep etika itu tumbuh secara sederhana dan mulai berangsur-angsur meningkat sedikit demi sedikit, dan berjalan menuju ke arah ”cita-cita” yang dianggap sebagai tujuan. Maka perbuatan itu dikatakan baik bila dekat dari cita-cita itu dan buruk bila jauh dari cita-cita tersebut.

Ada pun konsep baik dan buruk yang terakhir adalah menurut agama. Semua penganut agama meyakini bahwa tolok ukur baik dan buruk adalah sesuai dengan wahyu Tuhan yang diajarkan oleh utusan-Nya dan tertuang dalam kitab suci.

Jika sudah berbicara perihal agama urusannya lain lagi, bukan hanya soal baik dan buruk, tetapi juga soal benar dan salah. Jika kalian ingin berdebat mana agama yang benar/salah jangan di sini.

Berbagai konsep baik dan buruk di atas mencerminkan dinamika pemikiran manusia, selera, mindset atau cara pandang hidupnya. Maka apakah pantas memaksakan konsep baik/buruk menurut kita kepada dunia tanpa menghargai berbagai konsep baik/buruk yang ada? Atau lebih tepatnya apakah pantas menganggap orang lain buruk atau bodoh dengan standar buruk dan bodoh menurut kita tanpa menghargai pendapat mereka?.

Kecuali jika anda seorang misonaris agama, da'i, atau politikus yang sedang mencari simpatik dengan mengobral janji manis dengan misi untuk "kesejahteraan bersama", maka silakan saja.

Intinya kita bebas berkoar-koar, "ini baik!" atau "ini buruk!" tapi jangan memaksakan selera, pendapat atau mindset kita pada orang lain. Mengajak? Boleh tapi jika caranya dengan "merendahkan" atau menganggap orang lain rendah sebaik apapun sesuatu yang kau seru hanya sedikit orang yang akan menghargai seruanmu atau bahkan tidak ada. Realitas yang saya saksikan.

Maka dari itu dalam agama saya, yaitu islam, cara dalam mengajak itu harus dengan "hikmah" dan "pengajaran yang baik" (Q.S. 16: 125). Cukuplah Baginda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai suri tauladan dalam menjalani kehidupan.

Hemat saya kutipan "Stop Making Stupid People Famous" bukan milik kaum elit saja. Di mana mereka menggeneralisir orang-orang "bodoh" yang sesuai dengan selera, pendapat atau mindset mereka. Dengan kata lain makna dari kutipan tersebut dapat dibedah, jika perlu pakai pisau analisis semantik atau hermeneutika.

Menurut saya kutipan di atas cocok dialamatkan kepada orang-orang semisal Ferdian Paleka yang kita semua tahulah bagaimana "kedermawanan"nya. Untuk marketer odading mang oleh? Saya rasa tidak, karena pak ridwan kamil saja malah mengangkatnya menjadi duta promosi umkm. Artinya menurut kaum elit "buruk atau "bodoh" malah dianggap cerdas atau baik bagi selain mereka.

 

Referensi:

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://ejournal.iainkendari.ac.id/al-munzir/article/viewFile/767/699&ved=2ahUKEwiLpKb6g_3rAhXYcn0KHfY9B-oQFjACegQIARAB&usg=AOvVaw3TW88nFXXYEkDEWUmYzEoH&cshid=1600786940014

Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), Bulan Bintang, Jakarta, 1975.

 

 
 
----------------------------------------

TENTANG PENULIS




Hamdika Al Kahfi, Mahasiswa IT (Ilmu Tafsir) di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sedikit membaca banyak berpikir, pengen jadi orang sukses tapi males, idealis (biar keliatan kayak mahasiswa kritis bos), optimis, juga realistis.


You Might Also Like

0 komentar