Negeri Seribu Danau

September 09, 2020


Oleh: Aca Stammler
(Duta Bahasa Babel 2019 dan Mahasiswi Universitas Indonesia)

Aku belum mengantuk. Sama sekali belum mengantuk. Entah apa yang membuatku membiarkan buah baobab ini bertengger cantik di mataku- Ya,kantong hitam besar yang membuat setiap orang berkata bahwa aku tidak memiliki banyak waktu untuk memenjamkan mata.

Ku hirup asap yang menggempul dari secangkir kecil kopi hitam, rasanya benar-benar memeluk dada ku yang kedinginan. Musim hujan yang gila ini benar-benar menusuk sendi-sendiku yang kecil, bahkan bagi seorang gadis sepertiku, pelukan hangat memang dibutuhkan pada musim bodoh ini.

Aku membenci musim hujan—sangat membenci musim hujan. Aku akan mengumpat setiap orang yang memasang wajah bodoh mereka dan bertanya, “ Kenapa kau begitu membenci musim hujan,Nara ? Aku merasa musim hujan lebih baik dibandingkan musim kemarau,”

Lalu orang bodoh yang lainnya akan menambahkan opini-opini tentang musim kemarau, “ Musim kemarau akan membuat kulitmu kering dan mudah sekali mengelupas.”

Aku berdehem kemudian menggerakkan jemari-jemari tanganku, “ Musim hujan dan musim kemarau – itu sama saja,” lalu melanjutkan, “ Aku harus kehilangan orang yang ku sayang saat musim hujan.”

Lalu mereka diam, tak ada satu kata pun terlontar kembali dari mulut-mulut mungil. Lalu mereka seakan-akan mengabaikan satu kalimat yang ku lontarkan dan sibuk dengan aktivitas mereka yang lain- mengobrol tentang betapa mengasyikkannya libur lebaran yang hampir 1 bulan.

***

Kilatan petir menyorot tajam ke arah tumpukan kardus. Bukan, itu bukan kardus sembarangan. Kardus ajaib, lebih tepatnya. Kardus yang berisi surat-surat dari Ayahku.

Mataku melirik tajam ke arah surat yang agak kusam dengan ujung yang terbakar. Surat tersebut benar-benar kusam. Mungkin, itu surat pertama dari Ayah semenjak Ayah bertugas di Pulau Timah. Ku perintahkan Neuron otakku untuk melakukan apa yang ku inginkan. Neuron otak, ku paksa untuk menerjemahkan surat-surat dari Ayah bait per bait.

Untuk Nara sayang,

21 Mei 1998, dimana Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran diri dari jabatannya sebagai Presiden. Saat itu pula, tangisan kecil dari bayi perempuan membuatku bernafas lega-- Ya, itu dirimu Nara.
Ku beri nama gadis kecil itu Edelweiss Narantha dan berharap bahwa gadis kecil itu akan tumbuh menjadi orang yang bijaksana.
Nara kecil, ketika berumur 3 tahun pernah bertanya, " Ayah, Ibu dimana ?" Aku tahu, Nara kecil tak bisa berbicara. Nara kecil hanya bisa menggerakkan tangan dan memberi isyarat melalui gerakan mulutnya. Nara kecil, seorang tunawicara dan aku menyadari itu.

Aku tertawa dan merasakan bahwa tubuhku sedikit terguncang karenanya. Aku ingat ketika teman-teman menertawakan ku dan mereka bilang bahwa ketika aku besar, aku tidak akan menjadi apa-apa dan hanya bisa menyusahkan orang lain. Kulirik kembali surat itu dan melanjutkan,

 

Nara kecil, ia begitu cerdas. Aku ingat ketika ia menarik lengan bajuku dan bertanya, " Ayah, limun rasanya masam tapi air mineral tak punya rasa," tiba-tiba kau menjulurkan lidah dan menunjukkan, " Lihat, lidah Nara berwarna biru."
Aku tertawa dan berkata, " Kau bukan Tiliqua gigas, Nara."
" Kau hanya malaikat kecilku yang penuh rasa ingin tahu," lalu aku membelai rambutmu dan melanjutkan, " Air limun memiliki pH dibawah 7 tetapi air mineral memiliki pH 7."
" pH ? Apa itu ? Kapan Nara bisa memakannya ?"

Aku tertawa dan menjelaskan. Saat itu kau baru menginjak usia 10 tahun tapi kau begitu memaksakan dirimu untuk mempelajari tentang senyawa kimia. Nara, jangan sampai menjadi Asam Sulfat, ketika kau tak bisa mengolah kemampuan yang ada di dirimu, kau tak kan berarti. Namun, jika kau bisa mengolah kemampuan yang ada di dirimu, Ayah yakin, kau pasti menjadi orang hebat. Tak perlu malu menjadi seorang tunawicara.

Ditulis dengan cinta,

 

Paul Wijaya.

Aku ingat ketika Ayah menjelaskan mengapa limun itu masam dan air mineral itu tidak berasa. Aku juga ingat ketika Ayah memanggilku Tiliqua Nara. Katanya karena aku pernah menunjukkan lidah "biru" ku. Aku langsung melotot ketika Ayah memanggilku Tiliqua Nara dan berkata, " Aku bukan kadal Ayah ! Lihat, lidah ku tidak biru lagi!"

Lalu ayah tertawa, perutnya terguncang kemudian mengacak-acak rambutku yang ikal, " Aduh Nara, maafkan Ayah."

Aku selalu meminta 2 cup es krim agar aku bisa memaafkan Ayah dan Ayah dengan senang hati membelikanku 2 cup es krim rasa stoberi.

Aku cekikikan ketika mengingat kejadian konyol itu dan berharap aku bisa menjelajah waktu dan menemui Ayah kembali.

Mataku kembali tertuju untuk membuka setiap lembar surat dari Ayah. Surat berwarna merah jambu, biru, cokelat, dan warna-warna menarik lainnya. Ini mendorong diriku untuk tetap memaksa neuron otak menerjemahkan kata-kata Ayah satu per satu.

Untuk Nara Sayang,

Nara, saat ini Ayah berada di tempat yang memiliki banyak " danau buatan" yang tak terpakai. Semuanya tergeletak begitu saja. Tak ada tangan-tangan kreatif yang tertarik mengolahnya.
Disekitar " danau buatan" tak ada pohon yang tampak. Yang ada hanya ranting-ranting kering-- seakan-akan termakan usia.
Air nya juga keruh, mungkin akan menyebabkanmu terkena diare hebat ketika kau mengkonsumsinya. Cekungannya tajam dengan kedalaman yang luar biasa ! dua puluh satu meter !"
Tanah seperti ini mudah sekali mengalami Erosi.

Nara, Ayah berpikir bahwa peribahasa " Habis Manis Sepah Dibuang" cocok untuk menggambarkan situasi seperti ini. Hutan dibabat habis oleh tangan-tangan yang merasa bahwa diri mereka tidak berdosa.
Timah dieksploitasi dan meninggalkan cekungan dalam-- yang sangat berbahaya. Cekungan tak bermanfaat yang menyebabkan Pulau Timah terlihat berlubang ketika kau melintas di atasnya.
Ayah bisa mengkonotasikan bahwa Pulau Timah dan lubangnya sama seperti wajah Nara yang berjerawat.

Aku tertawa, membayangkan ketika Aku asyik memecahkan jerawat yang menyebalkan ini. Ayah menyamakan jerawatku dengan lubang yang ada di Pulau Timah. Aku bisa membayangkan ketika wajahku ditempeli oleh gundukan kantung nanah yang meradang-- benar- benar terlihat seperti monster.
Aku berpikir, bagaimana dengan Pulau Timah ? Pulau yang terkenal akan ekspor Timahnya dan pernah dijadikan sebagai Pulau Penghasil Timah terbesar di dunia ditempeli oleh lubang-lubang yang menyebalkan ? Entah kemana perginya tangan-tangan jahil itu, mungkin mereka asyik menggerogiti timah di tempat lain dan meninggalkan lubang yang mengerikan. Benarkah ? Entahlah.

Kuputar bola mataku yang bulat dan melanjutkan,

Wajah Nara ditempeli oleh gundukan kantung nanah yang meradang, namun itu membuat Nara semakin tertarik untuk memecahkannya satu per satu.
Nara lalu melihat ke arah cermin, terdapat lubang-lubang kecil yang katanya tak bisa hilang. Saat itu, Nara sungguh ketakutan dan berkata, " Apakah ada ramuan ajaib yang bisa menyembu
hkan lubang-lubang menyebalkan ini ?"
Lalu Ayah menyodorkan secangkir " ramuan ajaib" dan memintamu untuk menegu nya. Kau meneguknya dan bertanya, "Seperti Teh Chamomile."
Lalu Ayah mengangguk. " Memang," dan melanjutkan, " Teh Chamomile bermanfaat untuk mengatasi stress, ketika kau stress jerawat-jerawat mu akan bertambah banyak, Nara ! Tenangkan dirimu dan tersenyumlah."
Lalu kau tersenyum. Sungguh, senyum termanis yang pernah ku lihat. Senyum manis dari gadis dengan lubang-lubang di wajahnya.
Lalu kau berlari kecil menuju dapur, membawa sebutir jeruk lemon dan menorehkan nya pada bagian yang berjerawat dan berkata, " Aku terlihat cantik !"

Ditulis dengan cinta,

 

Paul Wijaya

Aku mengerti maksud ayah. Ketika lubang di jerawat saja bisa hilang, berarti kita bisa menghilangkan lubang-lubang mengerikan yang ada di Pulau Timah atau kita bisa mengolah tanpa harus menghilangkannya.

Ku ayunkan tanganku dan meraih surat selanjutnya- surat berwarna biru yang terletak ditumpukan paling atas.

Untuk  Nara Sayang,

Saat itu Jepang mendatangkan tanaman “ajaib” yang direncanakan untuk sebagai sumber bahan bakar kreatif bagi tank dan pesawat ketika perang dunia II, saat itu “tetangga” Jatropha curcas yang bernama Ricinus communis sudah lama memainkan peran sebagai pelumas.
Katanya, jarak pagar tanama itu tahan kering dan mudah diperbanyak dengan stek.

Aku pernah membaca surat kabar. Katanya, tanaman ini pun bisa tumbuh di daerah yang memiliki banyak “danau buatan tak terpakai”. Aku bisa mencalonkan Pulau Timah sebagai salah satu pulau yang layak ditanami oleh pohon Jarak. Ketika ia berbuah, ia juga menghasilkan banyak manfaat. Orang-orang cerdas akan memanfaatkan makhluk Tuhan ini dengan sebaik-baiknya. Mereka bisa menanam jarak dan menjadikan buahnya sebagai bioetanol.

Aku berharap suatu saat bisa melihatmu Nara. Melihat tangan kosongmu menyentuh tanah dan menanam jarak pagar.

Ditulis dengan cinta,

 

Paul Wijaya

Tak sengaja, Aku tertoleh pada tanaman jarak pagar yang ada di depan rumah. Tanaman yang bijinya sangat mematikan. Tanaman yang bisa melayangkan nyawa seorang anak jika ia menelan bijinya sebanyak enam atau tujuh buah.

Namun jika Anak-Anak di Negeri ini mempunyai pemikiran yang luar biasa, maka kita bisa mengolah biji jarak sebagai bioetanol. Benarkah ? Entahlah.

***

Aku tertarik pada selembar koran dengan judul bertuliskan, " 21 Mei 2015 -Seorang Pria Meninggal Tertimbun Tanah." Ku paksa kembali neuron otakku dan mengutip cuplikan dari surat kabar tersebut, " Seorang Pria bernama Paul Wijaya asal Jawa Barat meninggal karena tertimbun tanah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini disebabkan karena adanya erosi tanah dan kurangnya kemampuan tanah untuk menahan beban sehingga terjadi tanah longsor. Hal ini membuat Paul terjerembab dan kemudian meninggal di tempat...."

Hening.

Kurasakan butir-butir keringat meluncur deras di sela-sela pelipisku. Aku berjanji aku akan terbang ke Pulau Timah dan menanam pohon jarak di sana.

Edelweiss Narantha (tidak) membenci hujan- lagi.

 

---------------------------------
BIODATA PENULIS





An'nisa Safitri atau Aca Stammler adalah Mahasiswi Universitas Indonesia jurusan Farmasi. Ia merupakan Duta Bahasa Bangka Belitung tahun 2019. Memiliki minat yang tinggi terhadap literasi.

You Might Also Like

0 komentar