Passenger (Mirror: Misteri & Horror)

Maret 13, 2020


Oleh: Fajar Bangsawan
(Founder Mediatikusastra)

Terlalu fokus bekerja membuatku lupa akan segalanya. Lupa makan, lupa minum, lupa ke toilet, bahkan sekarang aku lupa bahwa jam telah menunjukkan pukul 23.30 malam. “Astaga, aku harus pulang sekarang!”. Untuk seorang gadis sepertiku, bekerja di tempat yang jauh merupakan hal  yang aneh. Tapi apa boleh buat, mungkin ini adalah takdir hidup. “Semoga saja masih ada kereta di stasun ini” kataku di dalam hati. Seperti biasa, aku selalu pulang dengan kereta bawah tanah.
Mungkin hari ini aku masih beruntung, terlihat masih ada kereta di sini. Akupun bersegera masuk, tepatnya aku berada di gerbong paling depan dekat dengan ruang masinis. Seperti biasa aku hanya melamun atau sekali-kali memainkan hp yang aku pegang. “tuk, tuk, tuk” Terdengar seperti suara langkah seseorang sedang menghampiri. Ternyata itu adalah sang masinis, sepertinya kereta sedang dalam kendali otomatis. 



“Selamat malam nona, apakah anda menikmati perjalanan ini?”

“Tentu saja tuan, kenapa anda kesini? Bukannya anda harus selalu berada di dalam ruang  kemudi?”

“Jangan khawatir nona, saya kesini hanya ingin berbicara sekaligus memperingatkan anda”

Nampak dari tadi sang masinis senyum-senyum saja.

“Tentang apa tuan?”

“Anda lihat gerbong di sebelah sana? Apapun yang terjadi anda jangan pernah coba untuk mengintip apa lagi mencoba masuk”

“Tapi kenapa tuan?”



Bukannnya menjawab, sang masinis malah pergi begitu saja dan kembali pada ruang kemudi. Memang aneh, dari tadi hanya ada aku dan masinis yang berada di sini. Aku berfikir positif saja, mungkin karena hari yang sudah larut makanya hanya aku saja penumpang di sini. Aku terus saja memainkan HP yang kupunya, dan sesekali melirik ke arah pintu gerbong sebelah. Namun semakin lama kulihat, rasa penasaran untuk melihat langsung isi dari gerbong sebelah semakin memuncak. “Apa aku lihat saja” gumam ku. Di sisi lain, aku ingat pesan dari sang masinis untuk tidak mengintip gerbong sebelah. “Sudahlah..” pikirku, mungkin dia hanya ingin menakut-nakutiku. Maka akupun sedikit bergeser kearah pintu gerbong sebelah dan aku tidak melakukan apapun, aku masih menunggu-nunggu saja. Pada akhirnya aku tidak tahan dan aku pun mengintip. “Tidak ada apa-apa di sini, ternyata benar dia hanya ingin menakut-nakutiku” sembari aku pun kembali pada kursiku.

Kali ini ada hal aneh yang terjadi, pintu yang tadi tertutup sekarang perlahan terbuka. Aku jadi semakin penasaran, maka aku putuskan untuk masuk dan duduk di gerbong sebelah. Tidak ada yang janggal di sini sampai pintu yang tadi terbuka sekarang terkunci rapat. “Apa-apaan ini!” Sepertinya dia benar-benar ingin mengerjaiku, dan aku yakin sekarang dia sedang cekikikan  tertawa. Tidak lama setelah itu, semua pintu penghubung antar gerbong terbuka menyisakan pintu ke gerbong utama yang masih terkunci rapat. “Apa lagi ini!” karena bosan dan juga jengkel dengan sang masinis, akhirnya aku mecoba berjalan-jalan menyusuri gerbong satu persatu. Aku pun semakin jauh berjalan masuk, berbeda dengan sebelumnya. Gerbong di sini memiliki banyak penumpang, ada anak-anak, remaja, bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan lansia. Tapi ada sesuatu yang aneh dari mereka, semuanya diam seolah tidak menghiraukan keberadaan ku di sini.  

Aku mencoba mengajak bicara salah satu penumpang, tapi aku tidak mendapatkan respon apapun. Kali ini aku menyadari sesuatu, mereka semua sekarang menatapku. “Ada apa dengan kalian! Kalian membuatku takut” aku tersentak. Tiba-tiba seorang wanita tua memegang lengan ku, dia bukan wanita tua biasa, wajahnya hancur, dan tangannya bunting sebelah. Aku ingin berteriak, tapi pita suaraku mendadak membeku. Dari belakang terdengar suara minta tolong “tolong… tolong… tolong…” Nampak seorang pria dengan tubuh yang terpisah menjadi dua sedang berusaha merayap menghampiriku. Itu belum berakhir, ada anak kecil yang tubuhnya tak utuh lagi sedang meraung kesakitan, kemudian ada wanita yang kepalanya terbelah menjadi dua, begitu pula muncul seorang ibu yang sedang memeluk kedua anaknya dengan tubuh yang tertusuk besi baja. Ada yang kepalanya tergantung. Ada yang kakinya hancur. Ada yang matanya copot. Ada yang tak henti-hentinya berteriak meminta bantuan mencari anggota tubuhnya. Ada yang… akhirnya tenagaku kembali, aku berlari sambil menangis dan berteriak keras berusaha membuka gerbong pertama, berharap ini adalah mimpi buruk, dan aku ingin ini segera berakhir. “TOLONG! BUKA PINTUNYA! TOLONG!” Aku terus mecakar-cakar pintu gerbong pertama sampai akhirnya pintu itu terbuka sendiri seraya tubuhku tersungkur masuk ke dalam.

Kini sunyi pecah, tangisanku mengikis dinding-dinding gerbong. Mungkin tangisan ku terlalu nyaring sehingga membuat sang masinis menghampiriku. 

“Ada-ada nona?!”

“Di sana! Di sana!”

“Anda pasti melanggar perintah saya bukan?”
 
“Tapi di sana… di sana…”

“Saya sebenarnya tidak mau membicarakan hal ini, terutama pada para penumpang. Tapi sudah terlanjur, anda sudah melihat semuanya, jadi saya ceritakan saja. Sejatinya kereta ini sudah pernah mengalami kecekaaan, tepatnya tiga tahun yang lalu. Saat itu terjadi kesalahan makanisme dari mansini sehingga menewaskan semua penumpangnya. Ada yang terpotong tubuhnya, ada yang tangannya, ada yang kakinya, ada yang…”

“Cukup tuan! Cukup! Kejadian barusan sudah membuat saya hampir mati ketakutan”

“Maafkan saya nona, tapi saya lupa memberitahu anda sesuatu”

Sang masinis berbalik ke arah berlawanan dan menunjukkan bagian belakang kepalanya.

“Nona, saya sangat beruntung, hanya bagian belakang kepala saya yang bolong dan hanya otak saya yang hancur”

Sekarang wajahnya berbalik kearahku dengan senyuman yang dingin. Kemudian dia kembali ke arah kemudi semula.






BIODATA PENULIS


Fajar Bangsawan

Fajar Bangsawan (bukan keturan darah biru), “Fajar”, atau “kang bacod” adalah seorang mahasiswa jurusan Sastra Inggris di sebuah Universitas di Indonesia yang saat ini sedang memantapkan diri dalam bidang tulis-menulis. Setelah lelah dengan gear dan baut – karena dulu berasal dari jurusan Teknik Otomotif di SMK Negeri 2 Pangkalpinang; menyadari kemampuan berbahasa Inggrisnya lebih encer dari oli akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan studi di Jurusan Sastra Inggris. Kini Fajar harus yakin dan percaya bahwa takdir di badang tulis-menulis akan membawanya pada kenikmatan hidup yang sesungguhya.


  
 

You Might Also Like

0 komentar