ADA GINCU DI GIGIMU

Maret 07, 2020






Oleh: Windy Shelia
(Duta Bahasa Babel 2017)

Ada gincu di gigimu. Buru-buru kau mengambil tisu, menyerongkan tubuh ke sudut dan mengelap gigi kelinci bewarna susu yang tertimpa cat bibir nyala kesumba. Lalu mereka menertawakanmu. Sesosok bongsor dibungkus blus neon ketat memamerkan lipatan-lipatan lemak hasil kejayaan masa muda berderap menghampirimu, ia mencubit pinggangmu dengan jari-jari berbentuk jempol kesemuanya.


"Minnie, lain kali touch up dulu ya sebelum ke depan." Bisiknya dengan tawa namun lebih terdengar bagai bisikan angker, membuat bulu kudukmu meremang.


Lalu kau berusaha tersenyum manis, melipit ujung pita bajumu dan kembali menyapa mereka seakan tak terlihat habis dicubit wewe gombel gembrot. Selalu begitu, jari telunjuk ramping itu beradu dengan jempol manis berkuteks bening, memilin-milin pita baju atau ujung rok, untuk menghilangkan gugumu. Aku lebih suka melihat nya memilin ujung kain, daripada telunjuk termanis di dunia itu menjentikkan korek gas untuk rokok yg berada di ujung mulut beruk, kudanil, atau kerbau yang hilir mudik bagai singgah minum di oase. Atau bagian yang menjijikkan, telunjuk manis itu memegang benda terjijik sedunia yang pantang tidur sebelum dicelikkan si telunjuk milikmu, bahkan beberapa beruk itu berani meminta bantuan 5 jari kananmu menjebloskan benda jijik itu  ke dalam garbah surgamu. Aku tahu kamu mual setiap kali melihat kekehan kudanil yang memberangus berusaha menyekapmu dibalik kemeja coklatnya. Atau beruk semuni keparat yang tak henti-hentinya menggerayangi punggungmu menarik-narik paksa dan terus-terusan teriak "nenen aku mau nenen." Akupun mual melihat manusia berperikehewanan seperti mereka.


Lain waktu, aku iba melihat kamu memeluk sosok-sosok rapuh yang tak jarang mengunjungi bilik berkelambu bintangmu. Mereka tak serakus para kelas mamalia, mereka avertebrata, lemah, tak berdaya, dan hanya ingin melingkar di perutmu. 


"Kau tahu, Minnie, aku menghabiskan semua gajiku untuk dia, bahkan aku cuma makan sawi yang ku tanam di belakang rumah untuk bekal ku di kantor." Tangis tua seorang laki-laki 30an tahun meledak. Konon katanya tangisan bayi tua lambat pulihnya. "lalu dengan tega ia ...huhu... nge nge... huhuhu we de de ngan te... Hu hu hu tangga se sebelah huuuuu." Meledaklah tangis bayi tua yang kehilangan mainan, sementara mainannya dicuri anak tetangga dan dibawa lari untuk kemudian di buang ke empang bila bosan. 


Begitulah, durasi paket 90 menit habis hanya untuk meringkuk di pangku si telunjuk manis. Bahkan bibir kesumbanya tidak luntur sedikitpun. Si lelaki bangkit dan menyelipkan beberapa lembar ratusan ribu ke sela bantal. Ia sudah ingin pergi sebelum berbalik dan berkata.  


"Ada gincu di gigimu, Minnie."


Di kesempatan lain kau mendapat bagian mengajari para pemula. Mereka datang padamu dengan recehan dan gumpalan uang kertas pecahan berbagai warna. Hasil bobol celengan sejak orok. Mereka lebih beringas daripada kaum beruk. Namun semangat mereka berbanding terbalik dengan burung kutilang mereka. Tabungan sejak orokpun lenyap dalam lima menit. Kadang mereka kesal, merentangkan kakimu lebar-lebar memaksa si kutilang yang sudah lunglai tersebut masuk ke liang cintamu. Namun liang cinta hanya menerima gagak atau elang, bukannya kutilang keok. Dengan kesal si bocah memakai celana sobek sobeknya dan membanting pintu. Sebelum akhirnya daun pintu tersebut terbuka sedikit dengan kepala si bocah berkata.


"Tante ada gincu di gigimu."


Semua orang bertanya mengapa Minnie yang jelita memakai gincu pun asal-asalan? Mengapa selalu ada saja gincu menempel di gigimu? Kau acuh, kau tersenyum dalam diammu yang setenang air danau tak terusik. Kau berada di keriuhan, namun jiwamu melayang pergi. Kau mengangkang setiap malam dengan burung-burung berbeda, bahkan ejananmu tak memiliki nyawa. Kau ada di sini tak berpindah tempat namun aku tak tahu sudah sejauh mana semangat hidupmu mengembara. Aku tak mempermasalahkan gincu di gigimu. Namun yang ku tanyakan dimana sorot mata yang hidup itu? Denganku pun kau diam.


Setelah beratus malam yang sesak dengan para beruk, pejantan tanggung, dan para patah hati, kau membeli kebebasan. Ku tak heran mengapa rupiah yang kau kumpul tak pernah berkurang jumlahnya? Ku tak heran mengapa kau tak membayar pengobatanmu sendiri setelah dinyatakan mengidap virus beruk? Kau membeli kebebasan. Membayar semua utang-utangmu pada si gembrot. Lalu kau diberi kebebasan dengan cinderamata kutil kelamin dan virus yang kapanpun bisa merenggut nyawamu. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, kemana kau akan berpulang? Rumahmu secara harfiah menolak kau berlabuh di pangku sepasang manusia yang dengan pikiran jorok mereka menghasilkanmu. Aneh mereka jijik denganmu yang merupakan seorang anak hasil perbuatan menjijikkan mereka. Manusia kadang-kadang membingungkan. Mereka mengusirmu, mengecammu, bergerombol ingin membakarmu. Sementara tiap malam mereka melenguh bak kerbau malas. Atau irikah mereka dengan kemampuan layananmu yang melebihi mereka? Kau tersenyum. Aku merasa bersalah karena terlalu banyak bertanya. Kadang-kadang kita bertanya sekedar menuntaskan insting anak kecil yang selalu ingin tahu, tanpa membawa solusi berarti kalau-kalau kau bertambah sedih, kalau-kalau kau bunuh diri karena segenap pertanyaan yang ku ajukan terlalu berat tuk kau jawab.


Selalu ada gincu di gigimu. Saat langkah pertamamu dijejakkan keluar rumah karaoke. Saat kau hirup udara kebebasan yang sebenarnya berbau bacin dan ikan busuk. Kau tersenyum meski semua orang memendam benci padamu. Meneriakimu lonte, perek, syukur-syukur ada yang berbisik dan memilih diksi kupu malam menjulukimu. Semua perempuan yang kehilangan malam dengan suaminya memandang dendam padamu. Semua ibu yang uangnya dicuri anak nya yang belajar buang kencing enak memupuk kesumat padamu. Semua mantan istri yang iri sebab burung mantan yang pernah membuat mereka melenguh juga pernah membuatmu melenguh menatapmu laiknya tai.


Lalu kau tersenyum memamerkan gigimu. Semua orang tertawa mengejek melihat deretan gigi berselimut kesumba. Kau tak tersinggung. Kau melenggang pergi. Kemana kau pergi Minnie? Seka dulu gincu di gigimu agar tak ada yang mengejekmu. Kau tersenyum. Kau membelah jalanan kota, tersenyum pada seantero, tak tertebak kemana kita pergi. Di satu jembatan layang kau menaiki anak-anak tangganya, tak lupa tersenyum pada mereka yang bersua denganmu. Diantaranya terdapat bocah yang kau puaskan di entah malam ke berapa. Ia menjelma copet ibukota dan ada pula yang menjelma anak kuliahan yang hobi nguberin ayam kampus. Mereka balas senyummu dengan kekehan geli dan cubitan manja di putingmu yang menyembul tanpa BH. Bahkan kau tak marah. Entah kamu ini rahib atau bunda maria. Mereka menyembahmu dengan impian axis mundi.


Aku sibuk berceloteh menemani derap langkahmu. Tak ku sadari senyummu melayang indah seiring badanmu yang melayang telentang bebas landas. Seiring munculnya izrail keparat bergolok besar, ternyata ia tak memakai topeng tengkorak seperti di komik komik. Wajahnya bening dengan mata bengis siap memenggal kepala dan menarik nyawamu. Ia heran ia tak menemukan nyawa, tak menemukan jiwa. Ia gorok-gorok lehermu dalam motion yang lambat. Ritme dikurangi 0.000sekian. 

"Lonte dimana nyawamu?" Teriaknya.


"Sudah lama hilang."


"Kampret, kau mau main-main denganku?" Wajah beningnya berubah sengeri iblis.


"Aku tak tertarik main dengan malaikat, aku tak tahu apakah kalian bisa memuncratkan cairan bernama berahi itu."


"Babi. Berikan nyawa itu kalau tak mau mati jadi kuntilanak."


"Sudah ku bilang hilang. Malaikat seperti apa yang budek sepertimu. Sama dengan Tuhanmu, kalian budek tahunya minta disembah. Tapi tak mau mendengar." Ku tak ingat kapan kau bisa bicara lebih dari satu kalimat.


"Bangsat. Wanita kafir."


"Jaman sekarang malaikat jadi superior ya? Katakan padaku apa kau muslim? Kristen? Atau hindu? Atau konghucu? Atau menyembah bulan?"


"Sinting." Geram izrail.  Ia menyerah. Lenyap seiring ritme yang kembali ke 1 detik konversi manusia. Seiring bunyi bedebam dan ceceran darah AIDSmu di dasar jembatan layang.

Sayup-sayup terdengar pertanyaan Izrail, bergema di telinga berdengung diiringi teriakan minta tolong dan bisik-bisik menjijikkan.


"Suminiati, siapa Tuhanmu?"


"Gincu." Jawabmu dengan suara kalbu. "Sebab gincu mengajari ku cara menyembah tanpa pamrih." 





BIODATA PENULIS 
            


Windy Shelia atau yang juga dikenal dengan Windy Azhar ialah seorang mahasiswa Sastra di Universitas Bangka Belitung. Perempuan berusia 21 tahun ini senang menulis karya sastra dan tampil dalam pentas teater. Ia juga aktif di beberapa kegiatan di bidang literasi dan gerakan perempuan. Saat ini ia bermukim di Selindung, Pangkalpinang.


You Might Also Like

0 komentar