Dialog Kue Mangkuk

Maret 01, 2020





Oleh: Windy Shelia
(Duta Bahasa Babel 2017)


Minggu, 11 November 2018


Seorang gadis berdiri di depan etalase toko kue. Persis di depan sebongkah roti krim strawberry dengan ceri merah menyala di atasnya. Matanya nanar. Rambutnya kusut. Tubuhnya kurus kering nan ceking. Setitik liurnya menetes di sela bibir keringnya yang berhias lebam di sudut kiri. Anak buruk rupa. Buduk. Mirip dengan anak anjing buduk yang tempo hari mati terlindas truk pengangkut sampah. Mengetahui keberadaan anak gelandangan yang dapat menurunkan selera pelanggan untuk belanja ke toko, si penjaga toko mengusir anak tersebut. Ditegur ia diam. Diteriaki ia bungkam. Lantas si penjaga toko yang gusar mengambil sapu. Seolah jijik menyentuh kulit boroknya, ia acungkan ujung gagang sapu demi menghalau bocah tersebut pergi. Si bocah membatu. Si penjaga yang gusar menggerutu lalu mengambil beberapa lembar kulit roti sisa potongan roti produksi yang ada di dapur. Ia menolak. Tetap dengan bola mata sebesar kelereng menatapi kue mangkuk tersebut.


"Hei pergilah, aku bisa dimarahi pak bos kalau kamu masih berada di dalam toko ini !" Bisik penjaga toko setengah menghardik.


Si gadis menoleh, 5 detik lalu ia menghela nafas panjang.


"Bolehkah aku membeli setengah saja?" Akhirnya si bocah membuka suara. Si penjaga toko tertawa kesal.


"Hei kau pikir ini toko bapakmu? Kue sekecil ini dijual setengah, siapa yang akan membeli setengahnya lagi hee?" Si penjaga toko berkacak pinggang.


"Aku hanya punya ini." Ia menunjukkan selembar uang kertas 20.000.


"Ini lebih dari cukup ! Mengapa tak beli satu utuh?"


"Setengahnya untuk sedekah." 


Si penjaga mulai gusar, anak ini tak sehat, mungkin dua hari lalu ia digigit anjing gila yang mati kemarin. Perutnya yang cekung lebih pantas diisi terlebih dahulu daripada berbicara sedekah. Lihatlah bocah ini, lebih baik membeli shampoo sachet dan sabun batangan lebih dahulu daripada sok memikirkan sedekah pada orang lain. Memang ada yang lebih membutuhkan daripada bocah itu sendiri? Tumbur menumbur argumen melesaki kepala penjaga toko. Sial apa hidupnya hari ini? Hingga ia harus berepot-repot mengusir lalat kecil yang sok dewasa ini.


"Lebih baik kau beli nasi padang di depan sana daripada membeli kue mahal disini."


"Tapi nanti gaji ku ini tidak fitrah, ada hak orang lain di dalamnya..."


"Hei hei gadis kecil, lihat dirimu, kurus dengan kulit melilit belulang, baju lusuh bak seratus hari tak mandi, kau bicara tentang orang fakir, sementara kau sendiri tak lebih baik dari kaum papa." Si penjaga toko tergelak kegelian. "kau bicara gaji? Gadis kecil sombong dapat uang hasil ngemispun bangga."


"Aku tidak ngemis!"


"Hasil ngamen."


"Suara ku cempreng, mau dengar." Ia bernyanyi dengan suara sumbang menyakitkan telinga.


"Hentikan ! Darimana sih kau dapatkan uang ini? Dan juga kue ini untuk siapa sih hingga kau ngotot membeli?" 


Si bocah yang asyik bernyanyi andeca andeci dengan suara kaleng rombeng mendadak senyap lagi. Ia kembali menatap lekat-lekat kue krim  merah muda tersebut.


"Untuk papa."


Si penjaga toko tergugu melihat mata polos yang menyebut kata 'papa'. Terbayang bayangan ayahnya yang berada di kampung dan menunggu kiriman tiap bulan demi berobat paru-paru basah yang sudah akut. Si penjaga toko terenyuh. Ia sentimentil dengan hal berupa orangtua terutama ayah.

Ia segera mengambil kotak kecil dan memasukkan sebuah kue mangkuk yang ditatap si bocah. Lalu ia memasukkan sebuah lilin kecil ke dalamnya.


"Ayahmu berulang tahun?"


Si bocah menoleh dan menjawab,


"Tidak, ini untuk merayakan kematian ayah."


Dikejauhan terdengar orang-orang berlari. Pedagang perhiasan dan ponsel curian kocar kacir. Pengemis yang pura-pura buta mendadak bisa berlari tanpa menabrak. Terlihat orang-orang berseragam cokelat susu mengejar para gepeng dan pedagang kali lima ilegal. Ekor mata salah seorang petugas menangkap sosok si gadis kecil yang berdiri di sebuah toko kue. Ia mendengus dan bergegas menghampiri toko beraroma roti tersebut.


Si penjaga yang masih tak mencerna jawaban si anak kecil tersebut hanya bisa menganga melihat si petugas datang dan menggendong paksa si bocah. Ia dipaksa duduk di bangku yang ada di bak belakang mobil. Si bocah tak melawan sama sekali. Ia duduk berhadapan dengan toko. Maka si penjaga toko masih melongo menatapnya.


"Ngomong-ngomong aku dapat uangnya dari papa yang melempar selembar uang setelah mainin ini." Si bocah menunjuk segitiga putih kumal yang membalut selangkangannya.


Lalu ban mobil petugas melindas kue mangkuk tersebut.


Selembar koran dengan headline news besar melayang lalu jatuh di ujung sepatu penjaga toko


ORANG KAYA NO 1 DI KOTA TEWAS DITIKAM GUNTING MAINAN MILIK ANAKNYA





BIODATA PENULIS 
            

Windy
Windy Shelia atau yang juga dikenal dengan Windy Azhar ialah seorang mahasiswa Sastra di Universitas Bangka Belitung. Perempuan berusia 21 tahun ini senang menulis karya sastra dan tampil dalam pentas teater. Ia juga aktif di beberapa kegiatan di bidang literasi dan gerakan perempuan. Saat ini ia bermukim di Selindung, Pangkalpinang.

You Might Also Like

0 komentar